![]()
Bandung, kmhdi.org – Tulisan ini lahir pasca Penulis menyelesaikan Ujian Akhir Semester, mata kuliah Hukum Acara Mahkamah Konstitusi yang di dalam proses pembelajarannya membahas salah satu kewenangan dari Mahkamah Konstitusi (MK) itu sendiri, yaitu memeriksa, mengadili dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atas dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden. Analisis komprehensif Penulis terkait mekanisme Pemakzulan Presiden di Indonesia menimbulkan keingintahuan yang kian besar dan akhirnya membuat Penulis sadar bahwa terdapat hal-hal yang harus diubah demi tercapainya sistem pemakzulan yang efektif dan efisien.
Masa Iya, Presiden bisa “Dipecat”?
Mari kita mulai dari awal, bahwa Indonesia merupakan negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial yang dapat dimaknai bahwa Presiden berkedudukan sebagai kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan. Menurut Buku “Pokok – Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi” karya Jimly Asshiddiqie, terdapat 9 ciri sistem pemerintahan presidensial, yaitu:
Kedudukan Presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, berpotensi menimbulkan adanya abuse of power sehingga perlu dilakukan pembatasan atau mekanisme untuk mengadili Presiden dan/atau wakil Presiden yang memang terbukti melakukan pelanggaran hukum demi menjunjung tinggi prinsip equality before the law seperti yang diamanatkan oleh Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (yang selanjutnya disebut UUD 1945) yang menyebutkan bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”.
Indonesia memiliki pengaturan terkait unsur-unsur pelanggaran yang dilakukan seorang Presiden dan/atau wakil Presiden yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk memakzulkan atau memberhentikan jabatannya. Pasal 7A UUD 1945 mengatur bahwa Presiden dan/atau wakil Presiden dapat dimakzulkan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (yang selanjutnya disebut MPR) atas usul DPR apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau wakil Presiden.
Tutorial “Memecat” Presiden 101
Pemakzulan Presiden dan/atau wakil Presiden merupakan extraordinary political event atau kejadian politik luar biasa yang tidak diharapkan terjadi.[2] Selain itu, Pasal 7B Ayat (1) UUD 1945 mengatur bahwa proses pemakzulan dapat diawali dengan usul pemberhentian Presiden dan/atau wakil Presiden yang dapat diajukan oleh DPR kepada MPR dengan terlebih dahulu melakukan proses konstitusional dengan mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi (yang selanjutnya disebut MK) untuk memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum yang diatur sebelumnya dalam Pasal 7A UUD 1945. Tahapan ini merupakan implementasi dari fungsi pengawasan DPR dalam mengawasi berjalannya lembaga eksekutif khususnya Presiden dan wakil Presiden seperti yang ditekankan dalam Pasal 7B Ayat (2) UUD 1945. Usulan atau pendapat DPR dapat diteruskan pada tahap selanjutnya ketika pendapat tersebut mendapat dukungan minimal 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh minimal 2/3 dari jumlah anggota DPR seperti yang diatur dalam Pasal 7B Ayat (3) UUD 1945.
Tahap selanjutnya melibatkan MK karena usulan DPR harus diteruskan terlebih dahulu kepada MK seperti yang disebutkan dalam Pasal 7B Ayat (1) UUD 1945. Kehadiran pasal tersebut memberikan ruang bagi MK untuk terlibat dalam proses pemakzulan Presiden dan/atau wakil Presiden yang diatur lebih lanjut dalam Pasal 10 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (yang selanjutnya disebut UU MK) yang menyebutkan:
“Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
Pasal 10 Ayat (3) UU MK menjelaskan lebih rinci terkait unsur-unsur pelanggaran hukum yang dilakukan Presiden dan/atau wakil Presiden sebagai dasar dilakukannya pemakzulan seperti yang sebelumnya dijelaskan dalam Pasal 7A UUD 1945. Rincian dalam Pasal 10 Ayat (3) UU MK menyebutkan:
“a. pengkhianatan terhadap negara adalah tindak pidana terhadap keamanan negara sebagaimana diatur dalam undang-undang.
b. korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan sebagaimana diatur dalam undang-undang.
c. tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
d. perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden.
e. tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
Perlu diperhatikan secara jelas dalam Pasal 10 Ayat (2) UU MK bahwa tidak ada penekanan terkait kewajiban MK dalam memberi putusan MK atas pendapat DPR atas dugaan pelanggaran Presiden dan/atau wakil Presiden merupakan putusan tingkat pertama, terakhir, dan bersifat final sehingga berimplikasi bahwa putusan MK tersebut berpotensi bisa ditinjau kembali dan tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum.[3] Keterlibatan MK dalam mekanisme pemakzulan Presiden merupakan bagian proses pendakwaan atau yang dikenal dengan impeachment. Tanpa adanya putusan bersalah dari MK maka seorang Presiden dan/atau wakil Presiden yang diduga melanggar hukum tidak akan bisa didakwa dan proses ini dilakukan sebagai “tiket” agar usulan DPR dapat dilanjutkan pada tahap selanjutnya.
Ketika MK memutus bahwa Presiden dan/atau wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum maka DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau wakil Presiden kepada MPR seperti yang diatur dalam Pasal 7B Ayat (6) UUD 1945. Ketika DPR sudah meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau wakil Presiden kepada MPR maka MPR harus mengambil keputusan dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri oleh minimal 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh minimal 2/3 dari jumlah anggota yang hadir setelah Presiden dan/atau wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR seperti yang diatur dalam Pasal 7B Ayat (7) UUD 1945.
Setelah “Dipecat”, lalu apa?
Penjelasan di atas merupakan mekanisme pemakzulan Presiden dan/atau wakil Presiden di Indonesia, tetapi bagaimana mekanisme pertanggungjawaban jabatan maupun pribadi seorang Presiden dan/atau wakil Presiden setelah menjalani removal from office? Sayangnya, mekanisme pertanggungjawaban Presiden dan/atau wakil Presiden belum diatur di Indonesia, oleh karena itu Penulis akan memberikan ide kecil berupa mekanisme pertanggungjawaban Presiden dan/atau wakil Presiden yang dimakzulkan untuk Tuan dan Puan anggota DPR RI di Senayan.
Sebelum membahas ide mekanisme pertanggungjawaban Presiden dan/atau wakil Presiden setelah pemakzulan, Penulis merasa bahwa mekanisme pemakzulan di Indonesia terlalu bernuansa politis dikarenakan mekanisme pemakzulan sama-sama diawali dan diakhiri oleh lembaga legislatif. Penulis merasa hal tersebut harus disederhanakan walaupun artinya ide ini harus melalui tahapan amandemen konstitusi yang sangat sulit untuk dilakukan. Tetapi melalui tulisan ini, Penulis hanya ingin menuangkan idenya yang siapa sangka dapat berguna di masa yang akan datang. Penulis berpendapat bahwa mekanisme pemakzulan harus disederhanakan dengan cara mengawali dari lembaga legislatif, yaitu DPR dan/atau MPR dan diakhiri oleh lembaga yudikatif, yaitu MK sebagai the guardian of the constitution.
Berkaca dari mekanisme pemakzulan yang berlaku di Korea Selatan, bahwa parlemen memiliki opsi untuk memakzulkan Presiden jika dianggap telah melanggar konstitusi yang dimana opsi tersebut harus didukung oleh 2/3 dari anggota parlemen untuk dilanjutkan ke MK.[4] Pada mekanisme pemakzulan di Korea Selatan, MK akan mengadakan sidang untuk mengukuhkan atau menolak opsi pemakzulan yang diajukan parlemen dengan mendengarkan bukti-bukti dari parlemen untuk memutus apakah Presiden telah melanggar konstitusi atau tidak dan dalam proses tersebut, Presiden tidak dapat menggunakan kekuasaannya sampai ada putusan dari MK. Dalam proses tersebut, MK memiliki waktu 6 bulan untuk mengukuhkan atau menolak opsi tersebut. Menurut Penulis jika Indonesia menerapkan mekanisme seperti ini akan lebih menyederhanakan proses pemakzulan Presiden dan/atau wakil Presiden karena unsur politis yang terdapat dalam mekanisme pemakzulan yang sekarang berlaku di Indonesia akan berkurang dengan mekanisme pemakzulan yang diawali oleh lembaga legislatif dan diakhiri oleh lembaga yudikatif.
Selanjutnya, Penulis memiliki ide yang ingin dituangkan terkait kekosongan pengaturan pertanggungjawaban Presiden dan/atau wakil Presiden yang dimakzulkan. Mekanismenya adalah ketika Presiden dan/atau wakil Presiden sudah melakukan removal from office yang setelah itu harus menghadapi tuntutan dari pemerintah dalam peradilan umum yang dimulai dari pengadilan negeri. Ketika Presiden dan/atau wakil Presiden didakwa atas suatu tindak pidana, maka tuntutan dapat dilakukan dengan pasal pidana yang diduga dilakukan dan ditambahkan dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 52 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (yang selanjutnya disebut KUHP) yang menyebutkan:
“bilamana seorang pejabat karena melakukan perbuatan pidana melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada waktu melakukan perbuatan pidana memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat ditambah sepertiga.”
Unsur pemberat tersebut juga diatur dalam Pasal 58 butir a Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (yang selanjutnya disebut KUHP Nasional) yang akan berlaku pada tahun 2026, bahwa faktor yang memperberat pidana meliputi:
“Pejabat yang melakukan Tindak Pidana sehingga melanggar kewajiban jabatan yang khusus atau melakukan Tindak Pidana dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatan”
Ketentuan tersebut diatur lebih lanjut dalam Pasal 59 KUHP Nasional yang menyebutkan bahwa “Pemberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dapat ditambah paling banyak 1/3 (satu per tiga) dari maksimum ancaman pidana.”
Narasi “pejabat” dalam pengaturan tersebut, penulis memaknainya bahwa Presiden dan/atau wakil Presiden merupakan bagian dari narasi “pejabat” itu sendiri sehingga Presiden dan/atau wakil Presiden juga menjadi ruang lingkup pengaturan tersebut walaupun sudah dimakzulkan karena pelanggaran yang dilakukan adalah pada saat menjabat.
Perlu diperhatikan bahwa mekanisme ini harus dilakukan dalam lingkup peradilan umum di bawah naungan Mahkamah Agung yang artinya harus diawali dengan tuntutan di Pengadilan Negeri dan ketika terdakwa tidak puas atas putusan yang dikeluarkan maka ia mempunyai hak untuk tidak menerima putusan pengadilan dengan melakukan upaya hukum biasa, yaitu Banding kepada Pengadilan Tinggi dan Kasasi kepada Mahkamah Agung dan dapat melakukan upaya hukum luar biasa, yaitu Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung seperti yang diatur dalam Pasal 1 Angka 12 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.[5] Terkait pelanggaran diluar pelanggaran pidana yang terbukti dilakukan oleh Presiden dan/atau wakil Presiden, Penulis berpendapat bahwa terhadap hal tersebut hanya bisa dilakukan pertanggungjawaban administratif, cukup dengan dilakukan pemberhentian jabatan/pemakzulan.
Mungkin sekian yang dapat Penulis tuangkan pada kesempatan kali ini, jika ada yang setuju ya bagus, kalo ada yang tidak setuju ya bebas. Penulis pun sangat terbuka akan saran dan kritik sebagai cara Penulis membantu negara ini mencapai apa makna sebenarnya dari Demokrasi, sekian.
“Wi Wok De Tok, Not Only Tok De Tok”
Penulis: I Made Aditya Permana, Kader PC Bandung KMHDI.
Daftar Pustaka
Peraturan Perundang-Undangan
Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Kitab Undang – Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Buku
Asshiddiqie, Jimly. 2007. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer
Jurnal
Siregar, Lisdhani Hamdan. 2012. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden di Indonesia. Jurnal Konstitusi. (Mei). https://jurnalkonstitusi.mkri.id/index.php/jk/article /download/923/131/254
Artikel
Firmansyah, M Julnis. 2023. Pakar Hukum Ungkap Kerumitan Pemakzulan Jokowi yang Diajukan Denny Indrayana. TEMPO. https://www.tempo.co/politik/pakar-hukum-ungkap-kerumitan-pemakzulan-jokowi-yang-diajukan-denny-indrayana-179113
Jayanti, Dian Dwi. 2023. 2 Macam Upaya Hukum Atas Putusan Pengadilan Perkara Pidana. Hukumonline. https://www.hukumonline.com /klinik/a/upaya-hukum-putusan-pengadilan-lt63f361852a255/
Rosa, Nikita. 2022. 9 Ciri-ciri Sistem Pemerintahan Presidensial, Siswa Sudah Tahu?. Detikedu. https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-6406064 /9-ciri-ciri-sistem-pemerintahan-presidensial-siswa-sudah-tahu#:~:text=Menurut%20buku%20Pokok%2Dpokok%20Hukum,Presiden%20merupakan%20eksekutif%20tunggal.
Rosdalina, Ida. 2024. Bagaimana Cara Memakzulkan Presiden Korea Selatan?. TEMPO. https://www.tempo.co/internasional/bagaimana-cara- memakzulkan-presiden-korea-selatan–1177445
Nikita Rosa. 2022. 9 Ciri-ciri Sistem Pemerintahan Presidensial, Siswa Sudah Tahu?. detikedu. https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-6406064/9-ciri-ciri-sistem-pemerintahan-presidensial-siswa-sudah-tahu#:~:text=Menurut%20buku%20Pokok%2Dpokok%20Hukum,Presiden%20merupakan%20eksekutif%20tunggal. ↑
M Julnis Firmansyah. 2023. Pakar Hukum Ungkap Kerumitan Pemakzulan Jokowi yang Diajukan Denny Indrayana. TEMPO. https://www.tempo.co/politik/pakar-hukum-ungkap- kerumitan-pemakzulan-jokowi-yang-diajukan-denny-indrayana-179113 ↑
Lisdhani Hamdan Siregar. 2012. “Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden di Indonesia”. Jurnal Konstitusi. https://jurnalkonstitusi. mkri.id/index.php/jk/article/download/923/131/254 ↑
Ida Rosdalina. 2024. Bagaimana Cara Memakzulkan Presiden Korea Selatan?. TEMPO. https: //www.tempo.co/internasional/bagaimana-cara-memakzulkan-presiden-korea-selatan–1177445 ↑
Dian Dwi Jayanti. 2023. 2 Macam Upaya Hukum Atas Putusan Pengadilan Perkara Pidana. Hukumonline. https:/ /www.hukumonline.com/klinik/a/upaya-hukum-putusan-pengadilan-lt63f361852a255/ ↑
