SEKRETARIAT PIMPINAN PUSAT KMHDI

Sekretariat Operasional (Surat Menyurat):
Jalan Kakatua Blok AA No. 14 Perumahan Cipinang Indah II, Kelurahan Pondok Bambu, Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur 13430
* Fax. : 021 – 86600779
Sekretariat Domisili :
Jalan Anggrek Nelly Murni Blok A No. 03, RT/RW 02/03 ,
Kelurahan Kemanggisan, Kecamatan Palmerah – Jakarta Barat 11480

Loading

Jakarta, kmhdi.org – “Dan mungkin, Dharma yang sejati bukan tentang menerima dunia apa adanya, melainkan keberanian untuk membuatnya lebih baik dari apa adanya.”

Rasa Syukur adalah Opium

Rasa bersyukur adalah opium. Ia menenangkan, menenteramkan, dan membuat kita tampak damai di hadapan dunia. Namun seperti obat penenang, jika dosisnya berlebihan, ia membuat kita mabuk. Kehilangan daya kritis, kehilangan sensitivitas terhadap ketidakadilan, dan kehilangan keberanian untuk bertanya mengapa sesuatu bisa begitu buruk tapi tetap dibiarkan.

Orang Hindu kebanyakan bersyukur dan mencinta. Kalimat itu terdengar indah, tetapi menyimpan bahaya ketika dipahami secara pasif. Kita bersyukur atas semua yang terjadi, bahkan terhadap hal-hal yang seharusnya kita lawan. Kita mencintai semua keadaan, bahkan yang menyakiti dan menindas kita. Hingga akhirnya, kita kehilangan semangat untuk memperbaiki keadaan karena semuanya sudah kita bungkus dengan kata “takdir.

Budaya Pasrah yang Dibenarkan

Dalam percakapan sehari-hari, kita sering mendengar kalimat seperti “nah kudiang men” atau “nak mule keto.” Kalimat yang terdengar sederhana tapi menyimpan pola pikir bahwa hidup tidak perlu dilawan, cukup diterima. Bahwa setiap ketimpangan hanyalah bagian dari rencana besar yang harus disyukuri.

Padahal ajaran Hindu tidak pernah mengajarkan kepasrahan buta. Karma phala bukan alasan untuk berhenti berjuang, melainkan kesadaran bahwa setiap tindakan memiliki akibat. Dharma bukan sekadar diam dalam keteraturan, tetapi keberanian untuk menegakkan kebenaran di tengah kekacauan. Namun dalam kehidupan berorganisasi, terutama di ruang kaderisasi Hindu, tafsir itu kerap diredam atas nama ketenangan.

Kaderisasi yang Menyanjung Kepasrahan

Dalam proses pengkaderan, kita sering diajarkan untuk bersyukur karena telah diberi kesempatan: bisa ikut pelatihan, hadir di forum nasional, dipercaya menjadi panitia. Tapi tanpa sadar, rasa syukur itu berubah menjadi alat kontrol. Kader yang banyak bertanya dianggap tidak tahu diri, sementara yang diam dan patuh diberi label bijak.

Kita terlalu sering diminta untuk bersyukur dan ikhlas tanpa diajak untuk menganalisis dan memperjuangkan. Hingga akhirnya, kader kritis dianggap pembuat gaduh, dan kader penurut dianggap teladan. Rasa bersyukur yang seharusnya membebaskan malah dijadikan rem bagi kesadaran.

Di titik itu, rasa syukur menjadi opium yang disetujui bersama. Ia membuat kita merasa cukup dalam kondisi yang seharusnya tidak cukup. Ia menenangkan kita dari kenyataan bahwa organisasi berjalan tanpa pembaruan, bahwa kaderisasi macet, bahwa gagasan kritis dibungkam secara halus atas nama ketenangan.

Kita bahkan menciptakan narasi spiritual untuk membenarkannya: “Semuanya sudah diatur,” “Yang penting hati bersih,” “Karma pasti membalas.” Padahal kalimat-kalimat itu sering kali hanyalah bentuk pelarian, cara lembut untuk menutupi ketidakberdayaan.

Mencinta Tanpa Keberanian

Begitu pula dengan cinta. Orang Hindu kebanyakan mencinta: mencintai organisasinya, sesama umat, bahkan mencintai sistem yang melukai mereka. Kita diajarkan untuk melihat semuanya sebagai bagian dari harmoni, padahal harmoni sejati tidak lahir dari kepura-puraan. Cinta tanpa kritik bukanlah kasih, tapi perpanjangan dari ketakutan.

Dalam konteks kaderisasi, cinta yang tidak berani menegur bukan cinta yang membangun, melainkan cinta yang membiarkan kebusukan tumbuh dalam senyap. Kita terlalu sering mengira bahwa menjaga nama baik organisasi berarti menutup mata dari kesalahan, padahal menjaga justru berarti berani mengoreksi.

Mengembalikan Arti Syukur dan Cinta

Bersyukur dan mencinta tetaplah penting, tapi seperti obat, keduanya harus dalam takaran yang tepat. Syukur tanpa kesadaran adalah pelarian, cinta tanpa kritik adalah pembenaran. Seorang kader harus bisa bersyukur sambil bertanya, mencinta sambil berani menegur.

Tugas seorang kader bukan hanya menjaga ketenangan, tapi memastikan arah perjuangan tetap di jalur dharma. KMHDI seharusnya tidak melahirkan kader yang tenang di tengah ketimpangan, tapi yang gelisah terhadap ketidakadilan. Bukan mereka yang pasrah atas keadaan, melainkan yang resah dan ingin memperbaiki keadaan.

Orang Hindu kebanyakan bersyukur dan mencinta. Tapi mungkin sudah saatnya kita belajar bersyukur sambil menggugat, mencinta sambil melawan, diam sambil berpikir. Karena agama yang hanya mengajarkan ketenangan tanpa keberanian hanyalah sarana pelarian dari tanggung jawab moral. Dan mungkin, Dharma yang sejati bukan tentang menerima dunia apa adanya, melainkan keberanian untuk membuatnya lebih baik dari apa adanya.

Siapapun yang membaca, bilamana sepakat ataupun tidak saya amat tunggu pendapatnya jika berkenan^^

Penulis : Lingga Dharmananda Siana (Pengurus PP KMHDI)

.

Share:

administrator