SEKRETARIAT PIMPINAN PUSAT KMHDI

Sekretariat Operasional (Surat Menyurat):
Jalan Kakatua Blok AA No. 14 Perumahan Cipinang Indah II, Kelurahan Pondok Bambu, Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur 13430
* Fax. : 021 – 86600779
Sekretariat Domisili :
Jalan Anggrek Nelly Murni Blok A No. 03, RT/RW 02/03 ,
Kelurahan Kemanggisan, Kecamatan Palmerah – Jakarta Barat 11480

Loading

Jakarta, kmhdi.org – Di tengah derasnya rutinitas kuliah, rapat organisasi, agenda sosial, dan percakapan dunia maya yang tiada henti, sering kali kita lupa bahwa keberadaan kita di dunia pendidikan tinggi bukanlah sesuatu yang bisa dianggap biasa. Di Indonesia, berdasarkan data BPS [1], Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan tinggi masih berada di sekitar 32%. Artinya, secara hitungan kasar, dari setiap 100 orang seusia kita, hanya 32 yang punya kesempatan mencicipi dunia kampus. Sisanya berada di luar pagar, mungkin bukan karena tidak ingin belajar lebih jauh, akan tetapi ini bisa jadi karena berbagai keterbatasan yang menghalangi langkah mereka.

Fakta ini memberi kita dua pilihan sikap: melanjutkan rutinitas seolah biasa, atau berhenti sebentar dan menyadari betapa beruntungnya kita. Kita berada di antara segelintir yang bisa kuliah. Namun di tengah privilege ini, justru muncul keheningan yang paradoks.

Kita sering ‘terlihat’ aktif berdebat di forum (forum ketua misal), kritis di ruang rapat (keras kerasan di mahasabha?), atau vokal lewat rilis visual di media sosial. Tetapi tak banyak yang bersedia menuangkan gagasan itu dalam bentuk tulisan. Kita bisa berbicara panjang lebar soal kondisi bangsa, membahas ketimpangan sosial, atau membela nilai-nilai dharma, tetapi ketika dihadapkan pada ruang kosong di lembar kertas atau layar kosong di laptop, tiba-tiba tidak tahu harus mulai dari mana. Seolah ada jeda antara kemampuan berpikir dan keberanian untuk menuliskannya.

Di organisasi seperti KMHDI, kita sering mengangkat tema-tema besar tentang perjuangan, transformasi kader, hingga peran mahasiswa Hindu dalam membangun peradaban. Tapi seberapa sering kita benar-benar menuliskan pikiran kita tentang hal-hal itu? Seberapa banyak tulisan yang lahir dari proses perenungan kita selama menjadi bagian dari gerakan ini? Bukan dalam bentuk laporan kegiatan atau sambutan formal, melainkan sebagai refleksi jujur tentang apa yang kita jalani, rasakan, dan pikirkan selama menjadi mahasiswa Hindu di negeri yang akses ke pendidikan tingginya ini masih terbatas.

Menulis bukan soal kemampuan menyusun kalimat indah atau mengutip berbagai referensi tokoh ternama, media popular, pun artikel ilmiah. Tidak, bukan itu yang utama. Ia adalah proses membangun relasi antara pikiran dan kenyataan. Dengan menulis, kita sedang berdialog dengan diri sendiri, sekaligus memberi ruang kepada orang lain untuk memahami apa yang sedang kita coba bangun dari dalam kepala kita. Menulis juga bisa menjadi cara untuk berhenti sejenak di tengah kesibukan, lalu melihat ulang arah dan makna dari langkah-langkah yang sedang kita tempuh dan perjuangkan.

Jika 1000 mahasiswa dikumpulkan misal untuk mengikuti sebuah acara, kita tentu bisa membayangkan, ini jumlah peserta yang ‘cukup’ banyak untuk membuat sesak satu ruangan. Kemudian, bilamana 10% saja atau 100 orang saling sahut berbicara, ini akan membuat riuh forum tersebut, iya kan? Tapi kalau dihitung-hitung jumlah pengurus PC dan PD saja di seluruh Indonesia sebenarnya sudah lebih dari 1000 orang (ini belum termasuk pengurus PP, BPC, BPD, Komisariat apalagi kader aktif non pengurus). Jadi sejatinya dapat dikatakan bahwa kita tidak sedang kekurangan jumlah, akan tetapi sering kekurangan jejak. Di era yang serba cepat ini, suatu pernyataan (misal: aksi, rilis) bisa viral dalam satu malam, akan tetapi kemudian hilang dalam satu minggu. Tulisan seperti esai (gagasan, opini, atau refleksi) akan memberi kedalaman, bukan hanya keberisikan yang terbatas pada ruang-ruang fisik. Lebih jauh, ia akan memberi kesempatan untuk memperpanjang umur suatu gagasan. Dalam derap langkah bersama organisasi, tulisan kita juga bisa menjadi suatu dokumentasi perjuangan bersama—yang kelak mungkin ide tersebut hadir lagi untuk dikenang. Dalam kehidupan pribadi, ia bisa menjadi arsip perjalanan berpikir yang membantu kita melihat pertumbuhan penyampaian isi kepala kita dari waktu ke waktu.

Sebagai mahasiswa Hindu Indonesia, menulis juga menjadi ruang untuk menjaga kesinambungan nilai. Dalam tradisi kita, pengetahuan bukan sekadar untuk disimpan, tetapi untuk diwariskan. Tulisan adalah salah satu cara paling abadi untuk mewariskan. Pada masa lalu, menyalin ulang lontar di suatu kedewaguruan merupakan syarat penting yang sekaligus menjadi hak eksklusif seorang sisya sebelum layak disebut cendekiawan atau calon pemimpin. Dari aktivitas menulis inilah pemikiran memperoleh ruang untuk berdialektika. Tanya jawab, tafsir, dan pertarungan gagasan menjadikan pengalaman personal diuji, lalu lahir nilai baru yang dapat diterima secara luas karena relevan dengan kehidupan bersama.

Sejarah menunjukkan, Hindu di Nusantara tidak hadir begitu saja, melainkan berproses melalui penulisan, pengolahan, dan kreatifitas sastra. Wiracarita yang berkembang di kerajaan-kerajaan Hindu Nusantara bukanlah salinan persis Mahabharata atau Ramayana dari India, melainkan adaptasi yang diperkaya konteks lokal sehingga melahirkan karya-karya orisinal seperti Kakawin Arjunawiwaha, Bharatayuddha, atau Sutasoma. Dari sana kita melihat bahwa Hindu menjadi nafas yang hidup, menyatu dengan nilai-nilai lokal yang sudah ada lebih dahulu. Aktivitas menulis inilah yang memungkinkan proses penyerapan dan penyesuaian itu terjadi, sehingga sastra menjadi kaya, ragam kreativitas muncul, dan nilai-nilai luhur dapat ditularkan lintas generasi. Setidaknya sejauh saya membaca sejarah perkembangan kerajaan Hindu Nusantara, menulis terbukti menjadi sarana penting untuk menjaga kelenturan tradisi sekaligus relevansinya. Kita sering menyebut dharma sebagai fondasi, tetapi tanpa ekspresi dan artikulasi yang tertulis, dharma bisa kehilangan bentuk dalam ruang publik kekinian yang penuh kompetisi gagasan. Maka menulis menjadi bagian dari menjaga apa yang penting, sekaligus menyuarakan apa yang perlu.

Dan kini di tengah keheningan itu, mulai muncul nada-nada yang memberi harapan. Apresiasi patut kita berikan kepada para kader yang sudah berani menulis dan konsisten membagikan gagasannya. Di laman KMHDI, kini telah terkumpul lebih dari dua ratus tulisan kader. Memang, sebagian besar mungkin masih ditulis oleh nama-nama yang sama, tetapi kita juga bisa melihat tanda-tanda menggembirakan: munculnya penulis baru dan tumbuhnya keberanian untuk menulis lebih jujur, sering kali keluar dari arus utama, tanpa indikasi pragmatis tertentu, hanya ingin menuangkan pikiran kritis sebagaimana adanya. Kehadiran tulisan-tulisan seperti itu bukan hanya memperkaya wacana, tetapi juga menunjukkan bahwa kita perlahan sedang membangun kultur intelektual yang sehat, di mana keberanian berpikir dan kejujuran berekspresi mendapat tempat.

Menulis tidak harus menunggu waktu luang. Ia tidak menuntut keahlian yang sempurna sejak awal. Ia hanya perlu sedikit keberanian untuk mulai. Barangkali dari satu paragraf yang masih kacau. Barangkali dari catatan kecil yang disimpan diam-diam. Barangkali dari opini ringan yang muncul setelah membaca atau mendengar sesuatu yang mengganggu pikiran. Dan dari sana, pelan-pelan, akan tumbuh kebiasaan untuk berpikir lebih terstruktur, melihat lebih jernih, dan menyampaikan lebih utuh.

Jika hari ini kita masih bisa belajar di universitas, masih aktif dalam organisasi, masih punya energi untuk terlibat dalam berbagai diskusi, maka ruang untuk menulis juga sebenarnya sudah tersedia. Tidak perlu menunggu momen besar untuk mulai. Menulislah saat masih bingung, saat marah, saat tersentuh, atau saat merasa tidak ada yang mendengar. Karena bisa jadi, tulisan itu menjadi pintu masuk bagi orang lain untuk menemukan suara mereka sendiri.

Dalam dunia yang terus bergerak ini, tempat kita di kampus adalah hak istimewa. Tapi hak istimewa itu bukan hanya untuk dinikmati. Ia juga bisa dijalani sebagai tanggung jawab. Dan salah satu bentuk tanggung jawab itu adalah memastikan bahwa apa yang kita pikirkan tidak menguap begitu saja. Kita bisa memilih diam, tapi kita juga bisa memilih meninggalkan jejak. Dan salah satu jejak yang paling jujur, adalah tulisan yang lahir dari kesadaran. Karena pada akhirnya, suara kepala yang kita tuliskan hari ini bisa menjadi pijar yang sangat dinantikan oleh seseorang diluar sana.

Penulis: Teddy Pradana

Pelajari lebih lanjut, data yang saya sitir sebagai berikut:
[1] BPS-Statistics Indonesia. 2024. Gross Enrolment Ratio (GER) in Tertiary Education by Sex, 2024. Diakses pada tanggal 17 Agustus 2025, melalui https://www.bps.go.id/en/statistics-table/2/MTQ0NiMy/gross-enrolment-ratio–ger–in-tertiary-education-by-sex.html

Share:

administrator