![]()
Bandar Lampung, kmhdi.org – Kebijakan neoliberalisme yang ditandai dengan deregulasi dan privatisasi telah menciptakan paradoks mendalam bagi ketahanan petani lokal di Lampung. Bagaimana janji kemakmuran ekonomi yang diusung oleh kebijakan ini justru berunjung pada kerentanan dan ketidakpastian bagi para petani?
Lampung, sebagai salah satu Kawasan agraris strategis di Sumatera, sangat bergantung pada sektor pertanian dengan sekitar 1,3 juta penduduk. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 menunjukkan bahwa 337.487 petani milenial aktif di Lampung berkontribusi pada narasi kebangkitan pertanian berkelanjutan. Namun, dibalik modernisasi ini petani dihadapkan pada tantangan eksternal kompleks. Mulai dari fluktuasi harga komoditas, kerentanan terhadapat kebijakan pasar, keterbatasan akses modal dan lahan, serta dominasi aktor ekonomi besar.
Penganalisisan dampak kebijakan neoliberal menggunakan tinjauan materialisme, dialektis, dan historis ditemukan bahwa deregulasi telah mempermudah korporasi besar. Pengakusisian lahan melalui skema Hak Guna Usaha (HGU) atau pembelian langsung, mengubah stuktur besar di wilayah seperti Mesuji atau Tulang Bawang.
Privatisasi dalam layanan publik dan sector pertanian juga mengalihkan kendali ekonomi dari negara ke swasta menjadikan petani bagaian dari rantai pasok yang dikontrol korporasi, seperti adanya ketergantungan pada benih hibrida dan pupuk anorganik. Seperti kasus yang dihimpun dalam NUSANTARANEWS, petani di desa Tanjung Harapan, Mekarajaya, Tanjung Baru dan Karang Jaya, Lampung Selatan. Melambungnya harga pupuk akibat permainan mafia pupuk yang manaikkan harga secara sepihak lebih tinggi dari HET. Tak hanya itu, dugaan praktik suap dalam ditribusi pupuk subsidi juga mencuat. Salah satu pengecer menyebut bahwa setiap kali satu rit mobil pupuk datang, mereka diwajibkan menyetor uang sebesar Rp. 80.000 kepada ketua pengecer. Dana ini disebut-sebut digunakan untuk “pengondisian” sejumlah pihak agar distribusi pupuk berjalan lancar tanpa gangguan.
Paradoks neoliberalisme terungkap dari kontradiksi antara janji kemakmuran ekonomi dan relitas kerentanan petani. Konflik lahan yang melibatkan perusahaan dan masyarakat adat/petani di Lampung menjadi manifestasi nyata dari benturan kepentingan antara akumulasi modal dan hak hidup komunitas. Pemerintahan daerah seringkali berperan ganda sebagai agen pembangunan pro-investasi, menciptakan tegangan antara kewajiban melindungi hak agrarian petani dengan ambisi pertumbuhan ekonomi regional.
Meskipun menghadapi tekanan besar, petani lokal di Lampung menunjukkan beragam strategi adaptasi dan resistensi. Mereka melakukan diversifikasi usaha, menguatkan kelompok tani dan koperasi, serta mempertahankan praktik pertanian tradisional. Bentuk resistensi juga mencakup advokasi hokum, demonstrasi damai, hingga praktik kedaulatan pangan yang menolak dominasi pasar. Solidaritas komunitas dan pengetahuan lokal yang diwariskan secara historis menjadi dukungan material esensial bagi ketahanan mereka.
Untuk memperkut ketahanan petani dalam gejolak yang ada, percepatan redistribusi lahan kepada petani penggarap dan perlindungan lahan pertanian berkelanjutan dari konversi. Pembentukan tim khusus penyelesaian konflik egararia yang idependen dan partisipatif. Revitalisasi dan penguatan koperasi petani untuk meningkatkan daya tawar di pasar. Pendidikan dan pelatihan berbasis kedaulatan pangan, termasuk pertanian organik dan penggunaan benih lokal. Pengembangan pasar lokal dan jaringan pemasaran altrnatif untuk memutus mata rantai dominasi tengkulak. Alokasi anggaran daerah yang lebih besar untuk subsidi pupuk organik, irigasi desa, penelitian benih lokal, dan bantuan modal bagi petani kecil. Memastikan partisipatif aktif organisasi petani dalam perumusan kebijakan pertanian.
Melalui kombinasi pendekatan materialis, dialektis, dan historis tidak hanya menjelaskan dampak neoliberalisme di Lampung, tetapi juga membuka ruang bagi narasi tandingan yang berpihak pada keadilan agrarian, kedaulatan pangan, dan kesejahteraan.
Penulis: Komang R. Vidya Laxemi (Pengurus PD KMHDI Lampung)
