![]()
Jakarta, kmhdi.org – Setiap tanggal 21 April, linimasa media sosial kita tiba-tiba berubah jadi parade kebaya, caption “Habis Gelap Terbitlah Terang”, dan ucapan selamat Hari Kartini dari pejabat sampai selebgram. Tapi setelah itu? Spirit Kartini perlahan kembali disimpan di laci, menunggu dibuka lagi tahun depan.
Padahal, kalau kita berani jujur, perjuangan Kartini itu real deal. Ia bukan cuma ikon nasional yang manis di buku pelajaran, tapi simbol perlawanan terhadap sistem yang membungkam perempuan yang sayangnya, masih terasa sampai sekarang, bahkan di era Gen Z yang katanya paling progresif ini.
Kartini Bukan Cuma Soal Emansipasi
Banyak orang mikir Kartini itu cuma soal “perempuan boleh sekolah”. Eits, sempit banget, bestie. Kartini itu vokal banget soal keadilan sosial, kemanusiaan, kebebasan berpikir, dan hak untuk menentukan masa depan sendiri. Kalau Kartini hidup di era TikTok, mungkin dia bakal jadi content creator paling nyinyir ke sistem yang patriarkis, kolonial, dan anti perubahan.
Dia nulis surat panjang-panjang yang sekarang mungkin setara dengan thread X (Twitter) atau caption IG buat bilang bahwa perempuan juga manusia. Bukan property, bukan pelengkap dan bukan objek.
Gen Z : Melek Gender, Tapi Masih Kena Gaslighting Sistemik
Kita boleh bangga. Gen Z dikenal lebih sadar gender, lebih terbuka soal mental health, dan lebih lantang soal hak-hak minoritas. Tapi kita juga hidup di tengah kapitalisme digital yang sering mengeksploitasi perempuan dengan bungkus estetik. Feminisme sering dijual sebagai lifestyle, bukan perjuangan.
Kita bilang “girls support girls”, tapi masih banyak yang saling body shaming. Kita koar-koar soal kesetaraan, tapi perempuan masih dibebani beban ganda harus independen tapi tetap “lembut”, harus produktif tapi jangan terlalu ambisius.
Kartini di 2025: Masih Relevan?
Banget. Tapi bukan untuk dipuja-puji, melainkan dikontemplasikan. Kita perlu duduk sebentar dari hustle culture, buka mata dari segala distraksi digital, dan nanya ke diri sendiri:
Apakah kita benar-benar bebas jadi diri sendiri?
Apakah suara perempuan sudah cukup didengar dalam ruang-ruang keputusan?
Apakah perjuangan hari ini sudah interseksional melibatkan perempuan adat, perempuan disabilitas, perempuan miskin kota, dan lainnya?
Dari Kontemplasi ke Aksi
Gen Z punya tools yang tidak dimiliki generasi sebelumnya: internet, sosial media, akses informasi. Tapi semua itu percuma kalau kita hanya jadi penonton. Spirit Kartini mestinya jadi bahan bakar untuk speak up, show up, dan stand up–bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk sesama.
Mulai dari hal sederhana:
Lawan komentar seksis di tongkrongan.
Dukung produk lokal yang memberdayakan perempuan.
Gunakan platformmu untuk mengangkat suara yang jarang didengar.
Penutup:
Dari Gelap ke Terang Versi Kita
Kontemplasi bukan cuma soal diam dan merenung. Tapi soal mengenali ketimpangan, mengkritik kenyataan, dan berani menyusun ulang masa depan. Kartini sudah memulai. Sekarang giliran kita Gen Z yang meneruskan, dengan cara kita sendiri.
Bukan dengan mengenang, tapi dengan bergerak. Bukan dengan seremoni, tapi dengan keberanian.
Hidup Perempuan Indonesia
Penulis : Ira Apryanthi (Ketua Departemen Litbang PP KMHDI 2023-2025)
