![]()
Buleleng, kmhdi.org – Temuan Dewan Pendidikan Kabupaten Buleleng bahwa ratusan siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) tidak bisa membaca adalah alarm keras bagi dunia pendidikan Indonesia. Ini bukan sekadar masalah lokal. Ini adalah gejala dari sebuah penyakit sistemik dalam penyelenggaraan pendidikan dasar yang selama ini tertutup oleh angka-angka kelulusan dan klaim capaian kurikulum yang menyesatkan.
Fakta ini sangat menyentak kesadaran publik: anak-anak yang telah berada dalam sistem pendidikan formal selama lebih dari enam tahun ternyata belum mampu membaca secara lancar dan fungsional. Bagaimana bisa anak-anak melampaui jenjang SD tanpa melewati gerbang paling dasar dari pembelajaran: kemampuan membaca? Situasi ini bukan hanya mencerminkan lemahnya proses pendidikan, tetapi juga menunjukkan abainya sistem terhadap evaluasi dini atas capaian belajar siswa.
Kemampuan membaca bukanlah keterampilan tambahan, melainkan fondasi utama dalam proses belajar.
Tanpa kemampuan ini, anak-anak hanya menjadi penghafal isi buku, bukan pemakna kehidupan. Kemampuan membaca adalah titik awal yang menentukan apakah pendidikan akan menjadi alat pembebasan atau justru menjadi jebakan sistematis.
Indonesia telah lama menghadapi krisis literasi. Dalam survei PISA 2018, skor literasi membaca siswa Indonesia hanya 371, jauh di bawah rata-rata negara-negara OECD yang mencapai 487. Artinya, apa yang terjadi di Buleleng bukan peristiwa mengejutkan, melainkan akumulasi dari apa yang telah terjadi selama ini yang telah berlangsung lama.
Dalam tata kelola kebijakan dan hukum, pendidikan adalah jaminan. Pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan. UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional juga menegaskan bahwa tujuan pendidikan adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, berakhlak mulia, dan cakap. Salah satu prasyarat kecakapan itu adalah kemampuan literasi.
Namun, dalam kenyataan, terdapat jurang besar antara apa yang seharusnya terjadi (das sollen) dan apa yang benar-benar terjadi (das sein). Banyak anak naik kelas bukan karena layak secara kompetensi, tetapi karena didorong sistem yang menekankan angka dan administratif menjadi acuan. Evaluasi belajar masih cenderung kuantitatif, bukan kualitatif. Anak-anak yang belum menguasai kemampuan dasar dibiarkan melanjutkan pendidikan tanpa ada intervensi nyata dan evaluasi kesiapan siswa.
Ketika mereka tiba di jenjang SMP, ketertinggalan itu menumpuk dan akhirnya meledak menjadi krisis.
Kebijakan pendidikan kita seringkali terlalu terpusat dan tidak sensitif terhadap kebutuhan di lapangan. Kurikulum nasional yang diterapkan seragam tidak memperhitungkan kesenjangan geografis, sosial, dan budaya yang sangat lebar. Guru di daerah terpencil tidak selalu memiliki akses pelatihan atau sumber daya yang memadai. Seperti dikatakan oleh Mochammad Munir, Kepala Pusat Penilaian Pendidikan Kemendikbudristek, “Ada jurang besar antara kebijakan makro pendidikan dan kenyataan mikro di ruang kelas.”
Solusi terhadap krisis ini tidak bisa hanya mengandalkan pendekatan administratif atau proyek-program jangka pendek. Harus ada reformasi menyeluruh terhadap cara kita memahami dan mengelola pendidikan dasar. Pemerintah daerah perlu melakukan audit menyeluruh terhadap capaian literasi siswa, bukan hanya sekadar memenuhi target kelulusan. Evaluasi berbasis asesmen diagnostik harus dilakukan sejak dini, dan guru perlu mendapat dukungan konkret untuk meningkatkan kualitas pembelajaran berbasis literasi.
Lebih dari itu, masyarakat sipil dan komunitas lokal perlu dilibatkan aktif dalam gerakan literasi. Komunitas, tokoh masyarakat, dan relawan pendidikan bisa menjadi mitra penting dalam menjangkau anak-anak yang tertinggal. Perguruan tinggi juga memiliki tanggung jawab moral untuk mengarahkan pengabdian masyarakatnya pada isu-isu pendidikan mendasar seperti ini.
Pendidikan bukan sekadar urusan sekolah. Ia adalah tanggung jawab kolektif bangsa. Paulo Freire pernah mengatakan, “Education either functions as an instrument to bring about conformity or freedom.” Jika sistem pendidikan kita membiarkan anak-anak tidak bisa membaca, maka ia sedang mencetak generasi yang terpasung, bukan merdeka.
Temuan di Buleleng harus dibaca bukan sebagai berita sesaat, tetapi sebagai peringatan keras: bahwa sistem ini harus dibenahi, bukan ditambal. Jika kita masih membiarkan anak-anak tumbuh tanpa mampu membaca, berarti kita telah gagal membaca masa depan.
Penulis: Tri Budi Santoso (Ketua PC KMHDI Buleleng)
