SEKRETARIAT PIMPINAN PUSAT KMHDI

Sekretariat Operasional (Surat Menyurat):
Jalan Kakatua Blok AA No. 14 Perumahan Cipinang Indah II, Kelurahan Pondok Bambu, Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur 13430
* Fax. : 021 – 86600779
Sekretariat Domisili :
Jalan Anggrek Nelly Murni Blok A No. 03, RT/RW 02/03 ,
Kelurahan Kemanggisan, Kecamatan Palmerah – Jakarta Barat 11480

Loading

Oleh : I Gusti Agung Arya Dhanyananda (Kader PC KMHDI Badung)

Kami Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia, senantiasa mengobarkan semangat cita – cita perjuangan bangsa
-Asta Prasetya, butir ke-3

Organisasi mana yang tidak merasakan kemunduran pasca pandemi Covid-19? Kemunduran tidak melihat kulit. Mulai Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), hingga Organisasi Kemasyarakatan dan Pemuda (OKP), termasuk di dalamnya KMHDI. Ada pandangan bahwa “komunitas kini lebih laku tinimbang organisasi”.

Namun apa yang terlintas di kepala anda ketika melihat situasi ini? Apakah ini karena KMHDI kurang memberi nilai tawar kepada mahasiswa Hindu? Atau memang karena minat mahasiswa untuk berorganisasi menghilang? Atau justru karena para pimpinan KMHDI yang tidak mampu membaca perubahan jaman?

Mari sedikit kita amalkan filsafat materialisme dialektika historis (MDH) yang sudah dicatut sebagai materi pendidikan KMHDI, supaya MDH tidak menjadi vacuum cleaner yang berdebu padahal harusnya menyedot debu. Bingung kan? Hehehe.

Organisasi adalah sekumpulan manusia yang sepakat berkelompok dan bersepakat pula untuk mencapai tujuan bersama. Sebuah kontradiksi umum yang perlu kita bahas sebelum menjustifikasi berbagai kontradiksi turunannya adalah pertanyaan berikut:

Mengapa Manusia Harus Berorganisasi?

Manusia butuh berorganisasi untuk menambah kekuatan agar tujuan dapat tercapai lebih cepat. Kekuatan itu juga dibutuhkan agar manusia dapat memposisikan dirinya di puncak strata sosial. Keinginan untuk berada di puncak strata sosial adalah insting naluriah manusia.

Puncak strata itu dapat didefinisikan sebagai puncak kebahagiaan, kesejahteraan, kemapanan, ataupun kekuasaan.

Jika berorganisasi adalah untuk menambah kekuatan, apakah artinya organisasi adalah pilihan untuk manusia yang lemah? Jawabannya adalah “Tidak”.

Adanya “Oligarki” adalah bukti bahwa manusia yang telah berada pada puncak strata ekonomi tetap memilih berorganisasi untuk mengendalikan suatu negara agar mereka dapat mempertahankan tingkat strata ekonomi yang tinggi. Berangkat atas sebab itulah mengapa mereka disebut “Oligarki” (oligos = sedikit, arkho = mengatur).

Setelah membahas esensi dari organisasi, selanjutnya yang perlu kita bahas adalah masalah pendidikan yang sedang kita (baca: KMHDI) hadapi.

Dampak Liberalisme Pendidikan Terhadap Mindset Berorganisasi Mahasiswa

Liberalisme adalah pandangan filsafat politik dan moral yang didasarkan pada kebebasan dan persamaan di mata hukum. Liberalisme Pendidikan artinya pandangan dimana negara harus mengatur hukum untuk menjamin bahwa akses pendidikan untuk rakyat adalah hak yang sama tanpa memandang status ekonomi ataupun golongan masyarakatnya.

Terdengar adil, baik dan biasa saja? Hehehe. Ngaco untuk kita yang mengaku humanis – nasionalis – progresif.

Karena, Liberalisme Pendidikan itu juga berarti bahwa antara anak dari latar keluarga miskin yang harus sambil bekerja dan tidak sempat belajar, dengan siswa dari latar keluarga kaya, bisa mengkonsumsi makanan 4 sehat 5 sempurna yang membantu perkembangan otak dan bisa mengikuti berbagai les, harus dipandang sama oleh negara dalam hal mengakses bantuan pendidikan.

Ini berakibat ketika melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi, baik si anak miskin maupun si anak kaya harus mempertahankan dan meningkatkan “strata”nya sebagai mahasiswa. Si miskin akan kuliah sambil kerja, sedangkan si kaya akan ambis kejar prestasi akademik.

Catatan: Hadirnya sistem Sumbangan Pembangunan Institusi (SPI) Perguruan Tinggi yang diakomodir oleh produk hukum Peraturan Pemerintah (PP) No. 108 tahun 2021 adalah bentuk nyata dari adanya liberalisme pendidikan.

Apakah itu artinya mereka (mahasiswa liberal) tidak punya waktu untuk berorganisasi? Tentu saja punya. Mereka tetap butuh organisasi.

Yang menjadi masalah bagi kita para warrior organisasi kader adalah mereka tidak akan mencari organisasi yang berlandaskan moral, melainkan yang berlandaskan hasil.

Berorientasi pada “hasil” akan mengakibatkan mereka (mahasiswa) memilih proses yang instan dan cepat. Organisasi yang berorientasi pada “proses” kaderisasi (pembentukan moral) seperti KMHDI tidak akan jadi pilihan.

Masalah yang [mungkin] tidak kita permasalahkan ini berakibat tumbuhnya pandangan “pragmatis” dalam pola organisasi kita (baca: KMHDI) sendiri.

Demi mempertahankan [hasil] jumlah rekrutment kader, para pimpinan organisasi cenderung memilih cara yang berorientasi pada hasil; seperti memamerkan senior yang sudah jadi pejabat, pembisnis, atau memamerkan jaringan ke pemerintah yang dimiliki oleh KMHDI.

Kucing hanya tertarik bermain dengan kucing. Pola kepengurusan yang pragmatis akan melahirkan program yag pragmatis, program perekrutan yang pragmatis akan menjaring massa yang pragmatis.

Kini, mari kita bahas lebih mendasar mengapa kita (baca: KMHDI) harus melawan prinsip pragmatisme.

Catatan: Tidak sepenuhnya pragmatisme perlu kita tolak. Terkadang prinsip yang ideologis dapat dijalankan dengan cara yang pragmatis. Penekanannya adalah pada prinsip, bukan pada cara (metode/taktik).

Pragmatisme bertentangan dengan prinsip dalam Purwaka KMHDI, dimana tujuan pendidikan kaderisasi adalah memupuk idealisme, kebalikan dari pragmatisme. Idealisme dalam bentuk penyadaran terhadap kewajiban terpenting (Dharma Agama & Dharma Negara).

Jika proses rekrutment KMHDI menggunakan prinsip yang pragmatis, maka pengurus akan berusaha merancang materi MPAB yang menampilkan hal – hal pragmatis. Karena jika tidak, maka massa akan mengalami demoraliasasi (kemunduran moral dan komitmen karena tujuan untuk masuk KMHDI secara pragmatis tidak ditampilkan pada materi kaderisasinya).

Demor ini bukan berarti mereka kabur dari KMHDI, melainkan merasa tidak memiliki moral yang cukup untuk melanjutkan proses kaderisasi. Bisa jadi mereka tetap aktif, namun untuk hal – hal pragmatis. Misalnya pragmatisme mencari teman, maka ia akan hadir di acara – acara santai dan hiburan, atau untuk mencari pasangan selangkangan, maka ia akan hadir setiap MPAB untuk screening anggota baru.

Fenomena penurunan antusiasme kader dalam mengikuti proses kaderisasi ini menjelaskan bahwa massa yang direkrut oleh KMHDI adalah massa yang tidak menginginkan pendidikan moral. Atau bisa jadi juga karena para pemateri dan pengurus tidak berorientasi pada pembentukan moral, melainkan hanya untuk berjejaring semata.

Satu satunya untuk kembali dari kondisi kemunduran organisasi ini adalah dengan menegakkan ideologi organisasi. Bagaimana caranya? Tunggu tulisan selanjutnya.

Cukup panjang lebar sampai disini, sekarang anda tentukan jawaban untuk pertanyaan awal.

Kemunduran organisasi, penurunan antusiasme atau hasil pragmatisme?

Share:

administrator