![]()
Lampung, kmhdi.org – Di balik deretan angka statistik, tersimpan kenyataan pilu: lebih dari 1,3 juta anak Indonesia terpaksa putus sekolah, dan 76% di antaranya karena masalah ekonomi. Ini bukan sekadar data, melainkan tanda bahaya bagi masa depan bangsa yang katanya menjunjung keadilan dan kesetaraan.
I Kadek Ria Febri Yana, seorang mahasiswa dan kader aktif KMHDI, menyatakan bahwa masalah ini menuntut kehadiran nyata dari seluruh elemen masyarakat terutama mahasiswa. “Ketika anak-anak kehilangan akses pendidikan karena miskin, maka kita sedang menyaksikan gagalnya sistem dan tumpulnya kepekaan sosial. Ini bukan saatnya saling menyalahkan, tapi waktunya kita semua, khususnya mahasiswa, untuk bergerak bersama,” ujarnya.
Kadek menekankan bahwa mahasiswa sejatinya bukan hanya pelajar di bangku kuliah, tetapi juga pengabdi di tengah masyarakat. “Mahasiswa bukan mereka yang sibuk olah-olah pencitraan demi kepentingan pribadi atau sekadar mengejar gelar tanpa makna. Mahasiswa adalah mereka yang belajar untuk mengabdi. Mereka yang mengasah ilmu untuk dibagikan, bukan disimpan di balik seminar dan foto-foto seremonial,” tegasnya.
Ia mengajak mahasiswa untuk turun langsung bukan hanya menjadi komentator sosial, tetapi menjadi penyuluh pendidikan, mentor anak-anak marginal, dan penggerak perubahan di tingkat akar rumput. “Satu jam mendampingi anak belajar jauh lebih bernilai dari seribu kata-kata bijak di media sosial,” tambah Kadek.
Lebih jauh, ia menyerukan agar komunitas, organisasi mahasiswa, dan tokoh pemuda membentuk gerakan pendidikan alternatif: kelas komunitas, bimbingan belajar gratis, hingga pendampingan psikososial bagi anak-anak dari keluarga prasejahtera.
“Jika kita benar mahasiswa, maka marilah kita buktikan. Jadikan pendidikan sebagai ladang pengabdian, bukan sekadar bahan diskusi. Karena perubahan besar selalu dimulai dari langkah kecil, dan kita punya kaki untuk melangkah ke sana,” tutup Kadek Ria.
