![]()
Wonogiri, kmhdi.org – Di tengah gemerlap dunia modern, di mana setiap momen bisa diabadikan dan setiap pengalaman bisa diukur dengan jumlah “suka,” kita menyaksikan sebuah fenomena yang subtil namun mengguncang: spiritualitas, yang seharusnya menjadi ruang suci bagi jiwa, kini sering kali terperangkap dalam jaring-jaring citra sosial. Fenomena yang disebut homophilia spiritual—kecenderungan untuk menyesuaikan laku spiritual dengan ekspektasi sosial—menggambarkan bagaimana ritual suci, yang dahulu adalah jembatan menuju yang transenden, kini kerap menjadi panggung performa di era digital.
Dalam masyarakat seperti Bali, yang kaya akan tradisi spiritual, fenomena ini terlihat jelas: persembahyangan, yang seharusnya penuh hening dan introspeksi, kini sering diwarnai oleh kilatan kamera dan keinginan untuk “terlihat spiritual.” Namun, apa artinya ini bagi jiwa kita, dan bagaimana kita menemukan keseimbangan di antara dua dunia yang kini bercampur: dunia sakral dan dunia simulakra?
Dari Hening ke Panggung Digital
Bayangkan sebuah pagi di sebuah pura di Bali. Asap kemenyan menari di udara, aroma bunga persembahan menguar lembut, dan suara mantra bergema pelan, menciptakan harmoni yang seolah-olah menghentikan waktu. Di momen ini, seseorang seharusnya tenggelam dalam keheningan batin, menyatu dengan yang ilahi. Namun, kini, momen itu sering kali terputus oleh suara klik kamera ponsel. Posisi tangan diatur agar terlihat anggun, sudut pelinggih dipilih yang paling dramatis, dan pencahayaan diperiksa agar sesuai dengan estetika media sosial. Sebelum doa selesai, sebuah unggahan sudah lahir, lengkap dengan caption yang penuh nuansa religius: “Bersyukur atas anugerah pagi ini.”
Tidak ada yang salah dengan mengabadikan momen. Fotografi, dalam esensinya, adalah seni menangkap keindahan, dan berbagi pengalaman spiritual bisa menjadi cara untuk menginspirasi atau melestarikan budaya. Namun, ketika ritual hanya terasa lengkap jika telah didokumentasikan, ketika niat sembahyang mulai bercampur dengan keinginan untuk dipandang sebagai “orang yang spiritual,” kita harus berhenti dan bertanya: apakah kita masih menyembah Tuhan, atau telah beralih menyembah algoritma yang mengatur linimasa kita?
Fenomena homophilia spiritual ini adalah cerminan dari kecenderungan manusia untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya, sebuah konsep yang dalam sosiologi dikenal sebagai homophily. Sosiolog Emile Durkheim pernah menulis bahwa ritual kolektif adalah perekat yang mengikat masyarakat, menciptakan rasa kebersamaan melalui pengalaman emosional yang dibagikan. Namun, di era digital, ritual ini telah bertransformasi. Persembahyangan, yang dahulu adalah laku kolektif untuk memperkuat ikatan komunal dan spiritual, kini sering kali menjadi alat untuk memamerkan identitas individu. Media sosial, dengan segala daya tariknya, telah mengubah ritual suci menjadi performance—sebuah pertunjukan yang dirancang untuk dilihat, dinilai, dan divalidasi oleh audiens daring.
Simulakra dan Kehilangan Keheningan
Filsuf Prancis Jean Baudrillard, dalam karyanya tentang simulacra dan simulation, memperingatkan kita tentang dunia di mana citra telah menggantikan realitas. Dalam “zaman simulakra,” gambar atau representasi menjadi lebih penting daripada esensi yang mereka wakili. Dalam konteks spiritualitas, kita melihat ini dengan jelas: sembahyang tidak lagi hanya tentang doa, tetapi tentang “gambar tentang doa.” Foto seorang umat yang bersembahyang dengan latar pelinggih yang megah menjadi lebih berharga daripada pengalaman batiniah yang seharusnya menyertainya. Caption yang puitis menjadi lebih penting daripada mantra yang diucapkan dalam hati. Dan jumlah like menjadi ukuran keberhasilan sebuah ritual, menggantikan kepuasan batin yang seharusnya dirasakan.
Dalam tradisi spiritual Timur, seperti Hindu dan Buddha, keheningan adalah pintu menuju kebenaran. Dalam keheningan, ego mereda, dan jiwa menemukan ruang untuk berdialog dengan yang ilahi. Namun, di dunia yang didominasi oleh budaya “terlihat,” keheningan menjadi komoditas yang langka. Kita hidup dalam kebisingan konstan—notifikasi, komentar, dan dorongan untuk terus memproduksi konten. Bahkan di tempat suci, kita merasa terdorong untuk mengisi kekosongan dengan aktivitas: mengambil foto, merekam video, atau menulis unggahan. Kita takut pada keheningan, karena dalam diam, kita dipaksa menghadapi diri kita sendiri—dan sering kali, kita tidak siap untuk itu.
Fenomena ini mencerminkan perjuangan yang lebih besar: konflik antara dunia simbolik yang sakral dan dunia digital yang serba visual. Dalam tradisi Bali, pura adalah ruang suci, tempat manusia menjalin hubungan dengan Sang Hyang Widhi dan leluhur. Tetapi ketika pura menjadi latar belakang untuk selfie, ketika ritual menjadi bahan konten, kita berisiko kehilangan esensi dari apa yang membuat ruang itu suci. Kita mengganti pengalaman batin dengan pengalaman visual, dan dalam prosesnya, kita mengalienasi diri kita sendiri dari makna sejati spiritualitas.
Tantangan Menjaga Keikhlasan
Pertanyaan yang muncul adalah: bagaimana kita menjaga keikhlasan dalam ritual di tengah dorongan untuk tampil? Ini bukan soal menolak teknologi—kamera, media sosial, dan dokumentasi bisa menjadi alat yang kuat untuk menyebarkan nilai-nilai spiritual atau melestarikan tradisi. Namun, tantangannya adalah memastikan bahwa alat ini tidak mengambil alih tujuan sejati dari ritual. Ketika waktu di pura lebih banyak dihabiskan untuk mencari sudut foto yang sempurna daripada merenung, atau ketika doa kita lebih pendek daripada caption yang kita tulis, kita perlu memeriksa ulang niat kita.
Saya teringat pengalaman pribadi, yang mungkin juga dialami banyak orang. Ada masa ketika saya merasa bangga melihat foto persembahyangan saya mendapat banyak perhatian di media sosial. Setiap like terasa seperti pengakuan, setiap komentar seperti validasi. Tetapi di suatu titik, saya menyadari bahwa momen-momen itu terasa kosong. Saya sibuk mengatur pencahayaan, memilih filter, dan memikirkan kata-kata yang “terdengar bijak,” tetapi saya lupa hadir dalam doa itu sendiri. Saya mulai bertanya: apakah ini tentang hubungan saya dengan Tuhan, atau tentang bagaimana saya ingin dilihat oleh orang lain?
Refleksi ini bukanlah penghakiman terhadap mereka yang berbagi momen spiritual di media sosial. Sebaliknya, ini adalah undangan untuk jujur pada diri sendiri. Kita semua terjebak dalam arus budaya digital, dan tidak ada yang kebal dari godaan untuk “terlihat.” Namun, spiritualitas sejati menuntut keberanian untuk melawan arus itu—untuk memilih keikhlasan di atas performa, untuk memilih makna di atas citra.
Keseimbangan: Menjaga Jiwa di Era Digital
Lalu, bagaimana kita menemukan keseimbangan? Pertama, kita perlu mengakui bahwa teknologi bukan musuh. Media sosial bisa menjadi alat untuk berbagi keindahan tradisi, mengedukasi generasi muda, atau bahkan membangun komunitas spiritual. Namun, kita harus belajar menetapkan batas. Kita boleh memotret, tetapi tahu kapan harus meletakkan kamera. Kita boleh berbagi, tetapi tetap menjaga ruang untuk doa yang tulus. Spiritualitas bukan tentang seberapa sering kita tampil religius, tetapi seberapa dalam kita hadir dalam momen-momen suci.
Kedua, kita perlu melatih kembali keberanian untuk diam. Dalam tradisi Hindu Bali, konsep maunam (keheningan) adalah bagian integral dari praktik spiritual. Keheningan bukan hanya ketiadaan suara, tetapi ketiadaan ego—ruang di mana kita bisa mendengar suara hati dan terhubung dengan yang ilahi. Di dunia yang bising, memilih diam adalah tindakan revolusioner. Ini berarti memilih untuk tidak mengunggah setiap momen, memilih untuk tidak mencari validasi dari dunia maya, dan memilih untuk hadir sepenuhnya dalam ritual, meskipun tidak ada yang melihat.
Ketiga, kita perlu kembali ke niat awal. Dalam tradisi Bali, konsep niskala mengajarkan bahwa ada realitas yang tak terlihat, yang lebih penting daripada yang tampak di mata. Sebelum kita menyalakan kemenyan atau mengangkat kamera, kita bisa bertanya pada diri sendiri: untuk siapa ritual ini? Jika jawabannya adalah Tuhan, leluhur, atau kebaikan yang lebih besar, maka kita berada di jalur yang benar. Tetapi jika jawabannya adalah pengikut kita di media sosial, mungkin inilah saatnya untuk berhenti dan merenung.
Hening sebagai Keberanian Baru
Di tengah dunia yang terus bergerak cepat, di mana setiap momen didorong untuk diabadikan dan setiap pengalaman diukur dengan metrik digital, keberanian terbesar mungkin adalah memilih untuk diam. Memilih untuk bersembahyang tanpa kamera, untuk berdoa tanpa caption, untuk hadir tanpa perlu dilihat. Pura bukan studio konten. Sembahyang bukan pertunjukan. Dan spiritualitas bukan kompetisi untuk mendapatkan perhatian.
Dalam keheningan, kita menemukan kembali esensi dari ritual: hubungan yang tulus antara jiwa dan yang ilahi. Dalam keheningan, kita mendengar suara yang sejati—bukan dari notifikasi atau komentar, tetapi dari dalam hati. Dan dalam keheningan, kita menemukan keberanian untuk menjadi manusia yang utuh, yang tidak membutuhkan validasi dunia untuk merasa bermakna.
Fenomena homophilia spiritual adalah cerminan dari zaman kita, tetapi juga panggilan untuk bertindak. Ini adalah undangan untuk kembali ke akar spiritualitas, untuk menjaga ruang suci di tengah banjir citra, dan untuk memilih makna di atas performa. Karena pada akhirnya, yang kita cari bukanlah tepuk tangan dari dunia maya, tetapi kedamaian dalam jiwa—dan itu hanya bisa ditemukan dalam hening yang tulus.
Penulis: Panggil Saja Kader
