SEKRETARIAT PIMPINAN PUSAT KMHDI

Sekretariat Operasional (Surat Menyurat):
Jalan Kakatua Blok AA No. 14 Perumahan Cipinang Indah II, Kelurahan Pondok Bambu, Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur 13430
* Fax. : 021 – 86600779
Sekretariat Domisili :
Jalan Anggrek Nelly Murni Blok A No. 03, RT/RW 02/03 ,
Kelurahan Kemanggisan, Kecamatan Palmerah – Jakarta Barat 11480

Loading

Denpasar, kmhdi.org Siapa yang masih asing dengan lirik laguManggu”, yang dinyanyikan Ari lesmana bersama bandnya yang telah hiatus itu ,  yang banyak  ditafsirkan sebagai kisah hubungan beda agama, bergeser keranah film kita juga pasti ada yang terbawa suasana dengan kisah percintaan “Komang” , seorang perempuan  Bali yang berakhir dengan bersatunya mereka dalam satu iman (mengikut pasangannya) telah menghidupkan kembali nuansa cinta beda agama di ruang publik.

            Persoalan iman memang personal seperti penggalan lirik kafirnya Jason Ranti, apalagi kalau sudah menyangkut cinta, tetapi dalam aspek teologis persoalannya tidak sesederhana itu apalagi kalau ditarik lebih jauh ketelelogis yang menekankan pada pemaknaan mendalam dari setiap pertemuan yang kita katakan sebagai takdir itu.

            Ditengah kontruksi sosial yang menarasikan romantisme minoritas yang logout ke mayoritas dan eksisnya aturan hukum yang melarang pernikahan beda agama,  penting rasanya sebagai penganut Hindu ditengah masyarakat yang beragama dimana kemungkinan untuk jatuh cinta terhadap yang berbeda iman sangat besar,  memiliki prinsip yang melampuai sekedar rasa kasmaran dengan cara memulai untuk menggunakan pikiran yang rasional sebagaimana nasehat dalam  Sarasamuccaya, sloka : 84 “laletyudvijate loko vaktrasava iti spraha, pravancyate janenatma  samjnasabdaih svayamkrtaih “, yang artinyajagalah pikiran agar tetap terkendali, sekalipun dalam keadaan bercinta dengan pasangannya”.

            Dalam Hinduisme, pernikahan dianggap sebagai ikatan suci (sanskara) yang melampaui dimensi fisik, Karena dari pernikahan itu terjadi proses untuk menyatukan dua jiwa (atman) dalam perjalanan spiritual menuju moksha (kebebasan).

            Namun, ironisnya, banyak umat Hindu yang meninggalkan keyakinannya demi menikahi pasangan dari agama lain—sebuah langkah yang justru bertentangan dengan esensi filosofi Hindu tentang dharma (kewajiban) dan svadharma (jalan individu).

            Memang dalam Hinduisme tidak pernah melarang atau setidaknya ada aturan keras perihal pernikahan beda agama, apalagi dalam Hindu persoalan tuhan itu dapat dipuja dalam banyak bentuk (Ekam Sat Vipra Bahudha Vadanti), namun jangan pula menyederhanakannya tanpa basis ilmu  karena konversi agama yang dipaksakan oleh struktur sosial atau tuntutan pasangan justru mengaburkan prinsip kebebasan spiritual (mukti) yang menjadi inti ajaran Hindu.

            Dari sudut pandang karma dan dharma, tindakan meninggalkan keyakinan sendiri untuk menyenangkan pasangan mengandung paradoks. Svadharma menekankan pentingnya menjalankan kewajiban sesuai dengan jalan hidup, kelahiran, dan kecenderungan batin (svabhava).

            Dalam Bhagavad Gita (3.35), Sri Krishna pernah  menegaskan, “Lebih baik menjalankan dharma sendiri meski tidak sempurna daripada mengadopsi dharma orang lain dengan sempurna.” Konversi agama yang dilakukan bukan atas kesadaran batin, melainkan kepatuhan eksternal, berisiko memutuskan ikatan dengan akar budaya dan spiritual yang membentuk identitas.

            Ketika log out juga, artinya kita mengalami   kegagalan memahami konsep adwaita (non-dualitas) dalam filsafat Hindu yang Menurut Adwaita Vedanta, semua makhluk adalah manifestasi Brahman (Realitas Absolut), sehingga perbedaan agama hanyalah ilusi (maya) di tingkat duniawi.

             Jika seseorang meninggalkan Hinduisme karena menganggap agama lain “lebih benar“, ia terjebak dalam dualitas yang justru ditolak oleh Hinduisme. Lebih dalam lagi, filsafat Hindu mengajarkan Bhakti Marga (jalan devosi) mengajarkan bahwa cinta sejati kepada Tuhan dan pasangan harus selaras, bukan saling menegasikan.

            Cinta yang memaksa pengorbanan keyakinan diri adalah cinta yang belum memahami hakikat prema (cinta tanpa syarat) sebagaimana diajarkan dalam kisah Radha-Krishna atau Rama-Sita.

            Solusi atas ironi ini terletak pada dialog yang berlandaskan jnana (kebijaksanaan) dan viveka (diskernya). Hinduisme mengizinkan praktik inklusif, seperti menghormati simbol-simbol kepercayaan pasangan tanpa meninggalkan ishta devata (dewa pilihan).

            Idealnya pernikahan beda agama seharusnya menjadi ruang sintesis, bukan asimilasiseperti metafora Sangam (pertemuan dua sungai) dalam kitab suci, yang tetap mengalir bersama tanpa kehilangan identitas, meskipun dalam konteks Indonesia amatlah sultit

             Jika konversi agama tetap terjadimaka harus berbasis pada pencerahan batin (antaryamin), bukan kompromi sosial.

            Sebab, dalam pandangan Hindu, kebenaran sejati (satya) tidak pernah bertentangan dengan cinta sejati (prema); keduanya adalah cahaya dari sumber yang sama tetapi sebisa mungkin sebenarnya untuk memilih pasangan, cobalah untuk mencari yang satu Iman terlebih dahulu, apalagi penganut Hindu di Indonesia belumlah masuk dalam kategori penganut yang hampir punah seperti Zoroastrianisme,  artinya masih ada banyak peluang untuk menemukan jodoh yang seiman yang hanya perlu dilakukan lewat penguatan interaksi terhadap kalangan umat sedarma yang dari sanalah kita bisa memilah-milah mana yang terbaik dari sisi agama, sosial, dan lain sebagaimana untuk dijadikan pendamping hidup.

            Selain itu mendalami ajaran Hindu hingga sampai pada filsafatnya juga amat penting agar tidak mudah goyahkarena penyadaran tentang filsafat Hindu oleh seseorang adalah sebuah tanda dari kemajuan penyelamatan lahir bathin apalagi filsafat sendiri merupakan bagian dari tiga kerangka penting ajaran hindu yang dikenal tatwadisamping  upakara (ritual), susila (etika).

            Filsafat Hindu memiliki peran penting karena berkaitan dengan pendidikan, etika, psikologi, dan kehidupan sosial. Mempelajari filsafat Hindu dapat membantu seseorang berpikir lebih kritis dan memahami makna hidup serta keberadaan manusia.

            Untuk memulai mempelajari filsafat hindu bisa dari teks-teks utama dalam ajaran Hindu seperti Upanishad, Bhagavad Gita, dan sutra-sutra yang memberikan panduan tentang cara mempelajari filsafat ini, sekaligus menjadi pedoman untuk pengembangan diri dan sikap moral. Dari sana kita kemudian harus memahami konsep seperti karma dan dharma yang dapat membantu seseorang dalam mengambil keputusan yang etis dan menjalani hidup dengan tanggung jawab, sehingga lebih menyadari nilai dan tindakan dalam kehidupan sehari-hari termasuk pada persoalan berganti keyakinan hanya karena mengikuti pasangan.

Penulis: Putu Ayu Suniadewi (Kader PC KMHDI Denpasar)

Share:

administrator