![]()
Jakarta, kmhdi.org – Pernahkah kalian nonton anime atau baca manga One Piece? Karya legendaris dari Eiichiro Oda ini belakangan malah bikin heboh gedung wakil rakyat (baca: DPR). Semua gara-gara benderanya yang dikibarkan di mana-mana, lalu buru-buru dicurigai sebagai ancaman yang memecah belah bangsa. Sebelum prasangka itu melayang terlalu jauh, izinkan saya mengajak kita semua melihat sisi lain dari One Piece. Alih-alih sekadar tontonan, ada banyak pelajaran tentang kebebasan dan solidaritas yang justru relevan dengan kondisi bangsa kita hari ini.
Agar lebih mudah memahami. Saya sarankan sebelum membaca untuk memutar Anime Zing – Overtaken(From”One Piece”).
Membentuk Jiwa Merdeka: Seni Mentoring ala Shanks
Saya akan mengajak untuk berkenalan dulu dengan sang tokoh utama: Monkey D. Luffy. Dia memiliki satu tujuan sederhana: Menjadi Raja Bajak Laut.
Perlu dipahami bersama Luffy bukan lah seorang organisatoris, ia tidak dikaderisasi bertahap apalagi duduk di forum-forum besar penuh dinamika. Luffy adalah contoh nyata bahwa proses membangun ideologi tidak selalu harus lewat mekanisme formal, melainkan bisa tumbuh lewat pola mentoring yang kuat dan emosional.
Dan di sinilah peran Shanks menjadi sangat penting. Shanks melihat Luffy sebagai anak kecil yang polos, tapi punya tekad baja. Dia sadar, Luffy memiliki potensi besar, ditambah garis keturunan yang tidak main-main. Maka, Shanks tidak mendidik Luffy dengan ceramah panjang atau strategi canggih. Ia memilih jalur yang lebih dalam: menyentuh emosional Luffy.
Shanks tahu, kalau hati Luffy sudah dia genggam, maka sisanya akan berjalan dengan sendirinya. Bahkan topi jerami yang ia titipkan pun seakan menjadi pengganti kehadiran Shanks dalam perjalanan Luffy.
Merebut Kursi Kepemimpinan: Luffy dan Kesadaran akan Sistem yang Busuk
Luffy bukanlah sosok yang sejak awal paham apa itu sistem, apalagi punya ambisi politis. Dia memulai perjalanan hanya karena tertarik menjadi bajak laut, sesederhana itu. Namun, seperti halnya kita yang terjun di lautan fakta, perjalanan membawa Luffy pada kenyataan pahit: dunia ini penuh sistem busuk yang menindas mereka yang lemah.
Tapi yang menarik, Luffy tidak terjebak dalam mengutuk keadaan. Dia bukan tipe yang membuang energi hanya untuk menyalahkan dunia. Sebaliknya, setiap ketidakadilan yang ia temui justru mempertegas satu hal dalam dirinya: jalan untuk mengubah keadaan hanya bisa ditempuh dengan menjadi orang yang punya posisi untuk melakukannya.
Di sinilah impian Luffy menjadi Raja Bajak Laut menemukan maknanya yang paling dalam. Bukan karena ia gila kekuasaan. Bukan juga karena ia haus akan pengakuan dunia. Luffy sadar, selama sistem yang ada dikuasai oleh mereka yang serakah, maka kebebasan sejati tak akan pernah ia dan teman-temannya dapatkan. Maka, merebut “kursi tertinggi” adalah keharusan, bukan ambisi pribadi.
Nakama: Ketika Kebebasan Individu Bertemu Tanggung Jawab Kolektif
Luffy memanggil kru kapalnya sebagai Nakama, “Nakama” (仲間) dalam bahasa Jepang secara harfiah berarti teman, rekan, atau orang yang menjadi bagian dari kelompok (komunitas/keluarga) dengan ikatan emosional yang kuat.
Namun, dalam konteks One Piece, arti nakama lebih dalam dari sekadar “teman” atau “anggota kru.” Nakama adalah orang-orang yang dipilih bukan karena darah atau kewajiban, tetapi karena mereka saling percaya, berbagi mimpi, dan siap berjuang bersama dalam suka maupun duka.
Luffy tidak memanggil kru-nya sebagai “bawahan” atau “anak buah”, melainkan sebagai nakama atau rekan seperjalanan yang diakui setara dalam ikatan batin.
Luffy paham betul, menjadi nakama bukan soal menyeragamkan cara berpikir. Ia tidak pernah memaksa kru-nya untuk memiliki mimpi yang sama dengannya. Setiap orang punya tujuan hidupnya sendiri. Namun, Luffy juga menyadari satu hal penting: semua impian itu tidak akan pernah terwujud jika kru Topi Jerami gagal membawa Luffy mencapai takdirnya sebagai Raja Bajak Laut.
Di sanalah letak ikatan sejati nakama. Bukan soal memaksakan gagasan, tapi soal memahami bahwa perjuangan bersama adalah jembatan bagi mimpi-mimpi pribadi mereka.
Bendera Bajak Laut, Kegelisahan Anak Muda, dan Ketidakpekaan Para Pemimpin
Di sinilah letak ironi dari pernyataan yang buru-buru menyebut pengibaran bendera One Piece sebagai gerakan sistematis untuk memecah belah bangsa. Justru sebaliknya, generasi muda yang memilih bendera Bajak Laut Topi Jerami sebagai simbol mereka sedang menunjukkan bahwa persatuan bukan dibangun dari penyeragaman simbol, melainkan dari solidaritas yang jujur dan kebebasan berpikir.
Ketika ruang-ruang formal tak lagi mampu menampung kegelisahan, maka simbol-simbol alternatif akan muncul sebagai bentuk ekspresi. Namun, memaknai ekspresi itu sebagai ancaman, tanpa memahami keresahan di baliknya, hanya akan membuat jurang ketidakpercayaan semakin lebar. Persatuan bangsa tidak akan runtuh oleh selembar kain bergambar tengkorak bertopi jerami. Ia justru akan runtuh jika para pemimpinnya gagal memahami suara generasinya sendiri.
Maka, ketika ada anak bangsa yang mengekspresikan keresahannya dengan mengibarkan bendera One Piece, tugas kita bukan memarahi atau mencurigai mereka, melainkan mendengarkan: apa yang sedang ingin mereka perjuangkan?
Luffy dan nakama-nya telah mengajarkan, bahwa solidaritas bukan dibangun dari perintah, tapi dari saling percaya dan memahami impian satu sama lain. Begitu pula dengan bangsa ini. Kita tidak butuh pengawasan berlebih terhadap simbol, tapi butuh ruang untuk menyulam solidaritas dalam keberagaman ekspresi.
Di titik inilah, Luffy dan bendera Bajak Laut Topi Jerami menjadi cermin yang jujur bagi kita semua—tentang bagaimana sebuah bangsa seharusnya memaknai kemerdekaan, solidaritas, dan kebebasan berpikir.
Kesimpulan
Pada akhirnya, Luffy mengajarkan bahwa kebebasan berpikir dan berekspresi adalah ruh dari sebuah bangsa yang merdeka. Kita boleh tidak sepakat dengan cara anak muda mengekspresikan kegelisahannya, tapi kita tidak boleh menutup mata terhadap keresahan yang mereka suarakan. Sebab, persatuan tidak dibangun dari keseragaman simbol, melainkan dari keberanian mendengarkan, memahami, dan berjalan bersama di tengah perbedaan.
Bendera Bajak Laut Topi Jerami hanyalah kain. Tetapi di baliknya, ada mimpi-mimpi tentang dunia yang lebih adil, lebih merdeka, dan lebih jujur. Dunia di mana solidaritas tumbuh bukan karena perintah dari atas, melainkan karena kepercayaan di antara sesama. Dunia yang mungkin belum sempurna, tapi tetap layak diperjuangkan.
Mereka yang takut pada simbol, sesungguhnya sedang memperlihatkan ketakutan mereka sendiri pada suara yang tak lagi mereka mengerti. Sebaliknya, mereka yang berani mendengarkan, adalah mereka yang sungguh-sungguh memahami makna kemerdekaan.
Karena kemerdekaan bukan soal bendera apa yang dikibarkan, tetapi tentang apakah kita masih punya ruang untuk berpikir dan bermimpi, bersama-sama.
Penulis: Lingga Dharmananda Siana (Perwakilan KMHDI Sebagai Nakama)
