SEKRETARIAT PIMPINAN PUSAT KMHDI

Sekretariat Operasional (Surat Menyurat):
Jalan Kakatua Blok AA No. 14 Perumahan Cipinang Indah II, Kelurahan Pondok Bambu, Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur 13430
* Fax. : 021 – 86600779
Sekretariat Domisili :
Jalan Anggrek Nelly Murni Blok A No. 03, RT/RW 02/03 ,
Kelurahan Kemanggisan, Kecamatan Palmerah – Jakarta Barat 11480

Loading

  
Denpasar, kmhdi.org – Pada awalnya, saya mengira bahwa ditampilkannya gambar Dewa Siwa sebagai latar belakang musik DJ di Atlas Beach Club tidak akan menjadi perbincangan hangat di masyarakat Bali. Bahkan, dalam tulisan saya sebelumnya, saya tidak mencantumkan persoalan ini sebagai salah satu bentuk penistaan agama akibat kurangnya pemahaman terhadap Hukum Adat Bali. Namun, perkiraan saya meleset jauh setelah beberapa elemen masyarakat melayangkan somasi terhadap Atlas Beach Club. Mulai dari LBH KMHDI hingga lembaga suci umat Hindu (PHDI Bali) tidak tinggal diam atas tindakan “nyeleneh” yang dilakukan manajemen Atlas Beach Club yang berlokasi di Canggu, Kabupaten Badung.

Setidaknya ada dua hal yang dapat disoroti dari persoalan ini.

Pertama, lemahnya sistem proteksi keagamaan umat Hindu Bali sehingga sebuah beach club dapat dengan leluasa menghina keyakinan umat Hindu. Meskipun pihak manajemen Atlas Beach Club dalam klarifikasinya yang dimuat di NusaBali pada 6 Februari 2025 menyatakan bahwa hal ini adalah kesalahan teknis—di mana gambar Dewa Siwa ikut terunduh pada 5 September 2024—pernyataan tersebut terkesan meragukan. Jika dilakukan penelusuran di internet, gambar yang ditampilkan pada malam 30 Januari 2025 tersebut tidak ditemukan, meskipun ada beberapa yang serupa. Hal ini mengindikasikan bahwa sebelum ditampilkan (meskipun dikatakan tidak sengaja), gambar Dewa Siwa tersebut kemungkinan besar telah melalui proses pengeditan terlebih dahulu. Namun, ini hanyalah dugaan saya, dan saya berharap kenyataannya tidak seperti yang saya pikirkan.

Kedua, lemahnya sumber daya manusia (SDM) masyarakat Bali. Ini dapat dilihat dari potensi dampak yang akan terjadi jika Atlas Beach Club ditutup akibat polemik ini. Mengapa persoalan SDM menjadi sorotan dalam kasus ini? Kita tidak bisa menutup mata terhadap kenyataan bahwa jika beach club ini ditutup, maka banyak masyarakat yang akan kehilangan pekerjaan. Beberapa sumber menyebutkan bahwa 80% staf yang bekerja di Atlas Beach Club merupakan warga lokal Bali. Dengan jumlah karyawan mencapai ribuan, dapat dibayangkan betapa besar dampak yang ditimbulkan. Belum lagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di sekitar lokasi yang bergantung pada keberadaan tempat tersebut akan ikut terdampak.

Bali sudah tidak perlu diragukan lagi ketenarannya dalam sektor pariwisata, baik yang berbasis alam, seni, maupun budaya. Namun, sayangnya, ketenaran dan keindahan Bali tidak diiringi dengan peningkatan kualitas SDM masyarakat lokal. Tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah membuat banyak masyarakat Bali hanya mampu mengisi posisi sebagai pekerja, bukan sebagai pemilik atau pengelola bisnis. Jika Atlas Beach Club ditutup, mereka yang kehilangan pekerjaan akan kesulitan mencari alternatif pendapatan lain karena keterampilan mereka terbatas pada sektor pariwisata. Akibatnya, angka pengangguran akan meningkat, dan ekonomi lokal akan terguncang.

Sebagai penutup, saya ingin mengajak para pembaca untuk membayangkan sebuah kemungkinan. Andai saja masyarakat Bali memiliki SDM yang unggul dengan tingkat pendidikan yang lebih baik serta kemampuan manajerial yang kuat, maka mereka tidak hanya akan menjadi pekerja di sektor pariwisata, tetapi juga pemilik bisnis yang mampu mengelola dan mengembangkan industri pariwisata sendiri. Bali seharusnya bisa menjadi tuan rumah yang sesungguhnya, bukan sekadar penyedia tenaga kerja bagi investor luar. Memang ada beberapa orang Bali yang memiliki bisnis di bidang ini, tetapi berapa persen dari total investasi yang ada?

Krisis seperti ini seharusnya menjadi pelajaran penting bahwa pengembangan SDM adalah kunci kemandirian ekonomi, terutama di sektor pariwisata. Dengan SDM yang kuat, persoalan seperti ini dapat diminimalisasi atau bahkan dihilangkan sama sekali. Penistaan terhadap agama Hindu di Bali bukan terjadi sekali dua kali, melainkan berkali-kali. Jangan hanya berkoar-koar dengan bangga mengatakan “Bali hebat, Bali kuat,” tetapi kenyataannya, inilah batas kekuatan kita. Pekerjaan rumah terbesar bagi masyarakat dan pemerintah Bali dari pengalaman ini adalah memperkuat SDM. Jika kualitas SDM tidak diperbaiki, maka masyarakat Bali akan terus bergantung pada lapangan pekerjaan yang disediakan oleh investor. Setiap kali muncul polemik yang mengancam keberadaan tempat kerja, gelombang pengangguran akan semakin sulit dihindari.

Yok… Mulatsarira!

Penulis: I Kadek Sukmayasa, S.H (Kader PC KMHDI Denpasar)
.

Share:

administrator