SEKRETARIAT PIMPINAN PUSAT KMHDI

Sekretariat Operasional (Surat Menyurat):
Jalan Kakatua Blok AA No. 14 Perumahan Cipinang Indah II, Kelurahan Pondok Bambu, Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur 13430
* Fax. : 021 – 86600779
Sekretariat Domisili :
Jalan Anggrek Nelly Murni Blok A No. 03, RT/RW 02/03 ,
Kelurahan Kemanggisan, Kecamatan Palmerah – Jakarta Barat 11480

Loading

Denpasar, kmhdi.org – Hal menarik yang perlu menjadi pembahasan kali ini yaitu tentang anak kelahiran Padang Panjang, Sumatera Barat pada 05 Maret 1909 ini. Ialah Sutan Sjahrir, beliau merupakan Perdana Menteri Republik Indonesia pertama setelah kemerdekaan tercetus pada tahun 1945, dan sampai saat ini namanya tercantum sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.

Dalam perjalanan panjang semasa hidupnya, banyak hal yang menarik untuk kita kenang. Pahit manisnya cerita perjalanannya mewarnai sejarah Republik Indonesia ini. Namun di sini penulis ingin membahas dari sisi awal mula tumbuhnya jiwa nasionalisme sosok Sutan Sjahrir tersebut dan awal pergerakannya di Indonesia.

Sjahrir merupakan putra dari pasangan Mohammad Rasad dan Puti Siti Rabiah. Sang ayah menjabat sebagai penasehat Sultan Deli dan kepala jaksa (landraad) di Medan. Dengan demikian, bisa kita bilang Sjahrir merupakan kalangan bangsawan pada masa itu. Status sosialnya memberikan kesempatan untuk mengenyam pendidikan. Kita ketahui hanya kalangan bangsawan tersebutlah yang bisa bersekolah, sedangkan masyarakat pribumi kelas bawah (petani/buruh) tidak mendapat kesempatan yang sama dengan Sjahrir.

Dalam biografinya, Sutan Sjahrir diketahui bersekolah di tempat terbaik pada zaman kolonial Belanda ketika itu. Ia memulai pendidikannya di ELS (Europeesche Lagere School) atau setingkat sekolah dasar. Ia kemudian masuk di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) yang setingkat dengan sekolah menengah pertama atau SMP. Di sini ia kemudian banyak membaca buku-buku asing terbitan Eropa dan juga karya-karya sastra dari luar. Tamat dari MULO pada tahun 1926, ia kemudian pindah ke Bandung dan bersekolah di AMS (Algemeene Middelbare School) yang merupakan sekolah termahal dan terbaik di Bandung. Semasa bersekolah, ia tidak membuang kesempatan tersebut. Di AMS, ia merupakan mahasiswa terbaik. Tak diragukan, dia adalah putra terpandai dalam keluarga Rasad, hanya saja dalam bidang menulis indah Sjahrir lemah.

Tidak sampai di situ, Sjahrir mendapat kesempatan dan dukungan dari keluarga untuk berkuliah. Sjahrir melanjutkan studi ke Eropa, berkuliah di Universitas Leiden, Belanda, di mana ia mempelajari hukum dan ilmu politik. Pendidikan ini memberikan dasar intelektual yang kuat untuk karier politiknya di kemudian hari. Namun menariknya, menurut Sjahrir, hal yang paling menyenangkan adalah menjelajah di luar kampus, menemukan tempat-tempat berkumpulnya anak muda dan tokoh intelektual Belanda, tepatnya organisasi Sosial Demokrat (De Socialist).

Pada masa studi di Belanda, Sutan Sjahrir bertemu dengan Mohammad Hatta yang merupakan teman diskusinya sekaligus senior di Perhimpunan Indonesia. Di Belanda inilah Sutan Sjahrir memupuk jiwa nasionalisme-demokrasinya melalui pergaulan dengan tokoh-tokoh Barat lalu kemudian menjadikan itu bekal pergerakan Sutan Sjahrir di Indonesia.

Jiwa Nasionalisme Tumbuh – Mengawali Pergerakan di Indonesia

Dalam berbagai aktivitas seorang Sjahrir di dunia pendidikan, banyak bergelut di berbagai organisasi begitu juga komunitas. Sjahrir bertumbuh pada kalangan pro-Belanda sebab ayahnya merupakan pegawai pemerintahan Belanda. Semula Sutan Sjahrir tidak menyukai pergaulan dengan kaum pemberontak, kemudian temannya yaitu Boediono membujuk dan menghiburnya dengan jalan-jalan di Bandung sembari makan sate di salah satu alun-alun kota Bandung. Pada saat bersamaan, ia menyaksikan Dr. Tjipto Mangunkusumo (tokoh pergerakan) berpidato soal kebangsaan.

Kita bayangkan Sjahrir pada saat itu yang duduk khidmat sambil menyantap sate lalu terketuk hatinya, kagum akan penampilan sang orator yang penuh semangat kebangsaan tersebut. Di sanalah tumbuh keinginan dan jiwanya akan perjuangan Indonesia melepaskan diri dari kungkungan penjajahan Belanda. Kemudian dari sanalah Sjahrir menjelajah berbagai perkumpulan pemuda sampai bahkan ia ikut dalam pembentukan “Jong Indonesie” dan Majalah Perhimpunan. Tidak hanya itu, Sjahrir juga mengikuti kelompok sepak bola, kelompok teater – berperan sebagai sutradara juga pemeran utama. Aktivitas tersebut menampilkan cerita paham kebangsaan dan kritikan atas pemerintahan pada masa itu. Banyak berkumpul dengan kawan-kawan sepergerakan juga noni-noni Belanda yang sering mengundangnya berpesta. Sjahrir tidak membenci orang Belanda, hanya saja benci akan paham imperialisme dan kolonialismenya.

Sjahrir kemudian mendirikan sekolah untuk kaum menengah ke bawah yaitu Tjahja Volksuniversitiet atau Tjahja Sekolah Rakyat. Di sana juga ia mendirikan kelompok Studi Patriae Scientiaeque, ajang diskusi politik. Sudah menjadi tradisi di kalangan pelajar dan pemuda untuk melakukan debat tentang ide kebangsaan di setiap pertemuan. Bintangnya ialah mereka yang dikenal ulung dalam berdebat. Dari sana Sutan Sjahrir mengasah kemampuannya bersilat lidah.

Dari Belanda ke Indonesia

Pada masa studi di Belanda, Sjahrir menghabiskan banyak waktu di luar kampus bertemu tokoh-tokoh muda dari berbagai bangsa yang ada di sana. Ia lebih sering berkumpul dan menyaksikan pertunjukan teater di Belanda ketimbang di perpustakaan kampusnya. Ia juga sering melipir menuju pusat budaya, salah satunya bioskop atau Cinema Tuschinski.

Sutan Sjahrir juga bergabung dengan organisasi yang dipimpin oleh Salomon Tas yang merupakan ketua Amsterdam Social Democratische Studenten Club, organisasi mahasiswa yang juga berafiliasi kepada Partai Sosialis Demokrat Belanda (SDAP). Dari sinilah minat Sjahrir mempelajari lebih dalam soal politik dan mengupas pemikiran para filsuf sosialis. Ia juga kerap bergaul dengan kaum anarkis kiri. Perkembangan Sjahrir berputar begitu cepat. Tas berpendapat “Kepribadian Sjahrir kembang dalam iklim Barat”.

Pada akhirnya, bertemu dengan Hatta, Sutan Sjahrir disuruh pulang ke Indonesia pada pertengahan November tahun 1931 dan Hatta menyelesaikan studi di Belanda kemudian akan menyusulnya. Pada masa kepulangannya ke Indonesia, Perhimpunan Indonesia mulai berantakan. Hatta sebagai pemimpin didepak, kemudian Sjahrir sepakat keluar dari organisasi tersebut membersamai Hatta. Situasi di Indonesia juga tidak kalah genting ketika itu. Terjadi penangkapan terhadap Soekarno oleh pihak pemerintah Belanda, kemudian Partai Nasionalis Indonesia (PNI) membubarkan diri.

Pasca terjadinya pembubaran PNI, Abdoel Karim Pringgodigdo yang lebih dulu pulang dari Belanda bergabung dengan teman-teman Sjahrir semasa bersekolah di Bandung membentuk kelompok yang dinamakan “Golongan Merdeka” dengan misi Pendidikan Rakyat. Kemudian mengadakan kongres di Yogyakarta pada Februari 1932, mereka kemudian mendirikan Partai Pendidikan Nasional Indonesia yang diketuai oleh Sukemi. Ini kemudian dikenal dengan PNI Baru atau PNI Pendidikan.

Tidak berselang lama, setibanya Sjahrir di Indonesia, ia langsung bergabung dengan partai tersebut, lalu mengadakan kongres kembali. Dalam kongres tersebut di Bandung pada Juni 1932, Sjahrir ditunjuk sebagai ketua dan Sukemi sebagai wakil.

Beberapa bulan kemudian, Hatta tiba di Indonesia lalu mengambil alih kepemimpinan dari Sjahrir, diketuai oleh Hatta dan Sjahrir sebagai wakilnya. Agar partai tersebut lebih efektif, pusat kegiatan PNI Baru ini dipindahkan Hatta ke Jakarta. Dari sini pergerakan politik Hatta dan Sjahrir dimulai dan pergerakan melalui partainya dianggap lebih radikal dibandingkan PNI yang dipimpin oleh Soekarno yang mengandalkan mobilisasi massa.

Dari sinilah pergerakan tokoh nasionalis Hatta dan Sjahrir bermula. Tak berselang lama, pergerakan tersebut tercium oleh pemerintah kolonial Belanda. Pergerakan tersebut semakin masif dan dianggap mengancam pemerintahan Belanda pada masa itu, sehingga kolonial Belanda segera mengambil langkah penangkapan terhadap dua tokoh nasionalis ini dan menjadikan Hatta dan Sjahrir sebagai tawanan politik pada Februari tahun 1934, dari Boven Digoel, Papua lalu ke Banda Neira, Maluku, dan penjara lainnya.

Penulis : Pitriyou (Anggota Departemen Penelitian dan Pengembangan PP KMHDI)

Share:

administrator