Oleh : I Gusti Made Teddy Pradana – PC KMHDI Badung
PENDAHULUAN
Tuhan, Ida Sang Hyang Widhi Wasa: yang dalam urat katanya terdapat widhi atau widya yang berarti pengetahuan. Beliau adalah sumber pengetahuan, dan dari pengetahuan, semua makhluk termasuk manusia dapat hidup dengan baik. Salah satu bait Weda menyatakan “Sa vidya ya vimuktaye”, yang berarti pembelajaran adalah yang membebaskan manusia. Pendidikan adalah sebuah jalan (marga) yang wajib dilakukan di dunia, untuk mencapai tujuan beragama “moksartham jagadhita ya ca iti dharma”.
Keutamaan Pendidikan itu secara berbanding terbalik ternyata belum dapat dikejar oleh bangsa dan negara kita. Menurut UNESCO Institute for Statistics (2020), education index Indonesia menempati urutan ke-107 dari 195 negara lainnya. Selain itu, dalam bahasan U.S. News & World Report (2020), Indonesia menempati peringkat ke-55 dari 73 negara di Asia tenggara dibawah Singapura, Malaysia dan Thailand dalam hal tentang sistem Pendidikan. Dengan kesadaran akan urgensi permasalahan ini, sebagai generasi muda Hindu, saya ingin ikut serta dalam memberikan pandangan bagaimana sebaiknya desain Pendidikan berbasis Hindu dilaksanakan di Indonesia. Desain yang saya usulkan akan mempertimbangkan sejarah perkembangan sistem pendidikan di Nusantara seperti adanya pasraman, ashram, padukuhan, gurukula dan atau penyebutan lainnya. Selain itu, usulan ini juga mempertimbangkan distrupsi yang tengah terjadi dari pesatnya perkembangan sains dan teknologi di era revolusi industri 4.0.
Usulan desain ini saya sebut sebagai Tri Mandala Pendidikan yang terinspirasi dari sistem pembagian zona kerajaan Nusantara yang masih eksis digunakan dalam dunia arsitektur saat ini. Konsepsi yang membagi wilayah menjadi tiga ini harapannya dapat dijadikan kerangka (framework) dalam pengembangan Pendidikan berbasis Hindu di Indonesia. Selain itu usulan ini bebasiskan budaya, yang mana segala proses yang berlangsung diharapkan menghasilkan gagasan, aktivitas dan artefak pada suatu lapisan mandala dan dapat disambungkan ke mandala lainnya.
PEMBAHASAN
Utama Mandala: Guru sebagai tonggak peradaban
“Guru Brahma Guru Vishnu Guru Devo Maheshwara, Guru Sakshath Parambrahma Tasmai Shri Gurave Namaha”
Keutamaan seorang guru telah disampaikan dengan sangat tinggi seperti pada bait diatas. Guru adalah seperti Dewa Brahma yang menghasilkan pengetahuan dalam diri kita, seperti Dewa Wisnu saat ia menjalankan ide/pengetahuan dalam pikiran kita kepada jalan yang benar, dan seperti Dewa Mahesha (Siwa) karena Ia menghancurkan konsep yang salah pada pengetahuan kita, sehingga dapat mencerahkan kita pada jalur yang diinginkan. Namun ditengah pekembangan sistem Pendidikan kita saat ini, kuantitas guru kerap kali menjadi acuan pemerataan Pendidikan dibandingkan kualitas. Ini terjadi termasuk pada guru Agama Hindu.
Eksklusivisme agama dalam tataran mikro di dalam Agama Hindu di Indonesia tengah terjadi, bagaimapun kita menyangkalnya. Hal ini tidak terlepas dari sejarah diakuinya agama Hindu di Indonesia (1998) dalam sejarah pembentukan PHDI yang diusulkan oleh mayoritas masyarakat Bali. Pendidikan Hindu secara administatif di Indonesia akan dinyatakan sebagai Hindu Dharma, yang dalam sejarah akan selalu berkonotasi Hindu Bali. Hal ini membuat hegemoni ke Bali-balian laksana Hindu Indonesia yang mengalami gelombang ke India-indian. Jadi dalam desain konsep utama mandala Pendidikan ini kita hendak berfokus pada penyiapan, perangkulan, pengayoman dan pembuatan sistem pembelajaran kepada setiap aliran hindu di Indonesia. Guru Hindu Bali tentu akan berbeda dengan Guru Hindu Kaharingan atau Sunda. Maka diperlukan inklusivitas dan keterbukaan untuk menerima keragaman ini. Kita dapat merefleksikan diri dengan artefak candi prambanan dan Borobudur sebagai alkulturasi dari kedewaguruan siwa dan budhha. Atapun penerimaan konsep trimurti pada beberapa candi di dieng dan konsep kepercayaan local yang masih ada dengan peninggalan candi ceto. Di jaman yang lebih modern ini, kita juga harus dapat menjebatani sang “guru” yang memiliki pengetahuan/kebajikan yang diperoleh secara non-formal agar dapat memenuhi persyaratan guru secara formal. Sehingga dengan demikian pengayoman umat hindu pada masing-masing alirannya dapat dilakukan.
Output konkret pada mandala ini adalah terbentuknya majelis yang merangkul mahaguru dan menjadi wadah inkubasi gagasan. Gagasan yang merupakan output selanjutnya adalah sesuatu yang vital dalam pembentukan budaya. Gagasan ini baru kemudian dapat diejewantahkan menjadi artefak dan aktivitas pada tataran pembelajaran. Pada konteks penghayatan, aplikasi dapat dilakukan dengan tattwa-susila-upacara berdasarkan desa kala patra masing-masing willayah di Indonesia.
MADYA MANDALA: BRAHMACARI SEBAGAI GERAKAN PENDIDIKAN
Masa menuntut ilmu atau brahmacari hendaknya bukan menjadi gagasan lagi ketika telah ada majelis kedewaguruan. Lebih jauh, Brahmacari hendaknya telah bertransformasi menjadi sebuah gerakan kesadaran akan pentingnya Pendidikan. Curiosity adalah driver utama dalam mandala ini. Kita dapat membayangkan mandala ini seperti bagaimana Arjuna melontarkan pertanyaan-pertanyaan untuk mencari kebenaran kepada Krisna. Sebuah lembaga yang dapat memfasilitasi dan menggerakan rasa ingin tahu terhadap kemahakuasaan Tuhan, alam semesta beserta isinya adalah suatu keniscayaan yang hendaknya hadir.
Output dari mandala ini adalah suatu Gerakan yang kelembagaannya dapat duplikasi secara mudah, terstruktur dan massif. Dari Gerakan akan lahir perasan dari gagasan-gagasan utama mandala menjadi sebuah bait-bait tuntunan yang lebih mudah dipahami dan menyentuh elemen masyarakat. Dalam tataran budaya, ujung output ini berbetuk artefak fisik dan aktivitas budaya.
NISTA MANDALA: KELUARGA SEBAGAI BENTENG PEMBANGUNAN MANUSIA
Seperti dalam bait Taittiriya Upanishad: “maatru devo bhava pitru devo bhava, …” Ibu, Ayah adalah perwujudan dewa, mereka semua adalah Tuhan itu sendiri. Jadi benteng utama Pendidikan berbasis agama Hindu adalah keluarga. Bagaimana cara pelaksanaan Pendidikan (Tatwa), bagaimana aktivitas diatur (Susila) dan bagaimana implementasi Pendidikan dilakukan (upacara) akan bersumber dari dua mandala sebelumnya. Pendidikan pertama ini adalah Pendidikan yang utama yang diperoleh anak sebelum menjadi peserta didik pada Gerakan Brahmacari dan utamaning mandala (maguru-sisya). Output dari mandala ini adalah pitutur/piteket yang secara mudah dapat diterima namun dapat meresap dalam dan bertahan lama.
PENUTUP
Tri Mandala Pendidikan adalah gagasan untuk membagi zona pendidikan berbasis agama Hindu yang dapat diterapkan di Indonesia. Gagasan ini dapat dilakukan dengan pendekatan budaya dan sikap inklusivitas dan keterbukaan. Utama mandala menempatkan keutamaan guru sebagai penggali gagasan pembentuk struktur budaya. Madya mandala menonjolkan brahamacari sebagai sebuah kesadaran pendidikan. Serta, Nista mandala menjadikan keluarga sebagai benteng pembangunan manusia Hindu. Harapannya gagasan ini dapat dijadikan kerangka dalam pengembangan pendidikan berbasis agama Hindu.
DAFTAR PUSTAKA
Astawa, I.N.S. 2018. Pola Pendidikan dalam Perspektif Pendidikan Hindu. Satya Widya: Jurnal Studi Agama. Vol 1(1).
Agustang, Andi, Indah A. Mutiara, and Andi Asrifan. 2021. “Masalah Pendidikan Di Indonesia.” OSF Preprints. January 10. doi:10.31219/osf.io/9xs4h.
Sri Lalitha Peetham.____. Taittiriya Upanishad. http://www.lalithapeetham.org/home-page/maatru-devo-bhava-pitru-devo-bhava-aachaarya-devo-bhava-atithi-devo-bhava-2 [diakses: 27 Februari 2022]
Suryada, I.G.A.B. 2020. Konsepsi Tri Mandala dan Sangamandala dalam Tatanan Arsitektur Tradisional Bali. https://www.researchgate.net/publication/343547185_KONSEPSI_TRI_MANDALA_DAN_SANGAMANDALA_DALAM_TATANAN_ARSITEKTUR_TRADISIONAL_BALI [diakses: 27 Februari 2022]
UNESCO. 2020. Human Development Index: Education index. https://hdr.undp.org/en/indicators/103706 [diakses: 27 Februari 2022