Hari Suci Kuningan merupakan hari suci Agama Hindu yang jatuh 10 hari setelah hari suci Galungan, tepatnya pada hari Saniscara (Sabtu) Kliwon Wuku Kuningan (Tumpek Kuningan). Sama seperti Galungan, Kuningan juga menjadi salah satu hari suci yang juga ditunggu oleh umat Hindu khususnya seantero Nusantara. Hal ini bisa dibuktikan dari beragamnya Jejahitan (Anyaman untuk Upacara Khas Agama Hindu), prosesinya yang biasanya selalu diiringi dengan budaya melancong ke Pantai di sore hari, atau tradisi Nglawang dengan atraksi Barong Bangkungnya yang khas.
Dari beragamnya ciri khas hari suci Kuningan tersebut, sebenarnya terdapat satu lagi ciri khas yang menjadi tren hari suci Kuningan masa kini. Namun meskipun demikian, tren ini jarang disadari oleh umat Hindu, bahkan mungkin selalu luput dari pembahasan secara filosofis. Tren tersebut adalah pemakaian busana berwarna kuning di setiap hari suci Kuningan. Hal ini bisa direfleksikan lewat perkembangan teknologi di zaman sekarang, dimana setiap hari suci Kuningan, media sosial akan langsung dipenuhi foto-foto eksis anak muda yang tampil dengan busana adat berwarna kuning disaat merayakan hari raya. Entah kuning dalam hal udengnya, saputnya, saparinya, kebayanya, kamennya, dan lain-lain (Bradut, 2020). Foto tersebut kemudian akan ditimpali dengan balutan status, caption, dan esteg ‘#’ khas “Selamat Hari Suci Kuningan.”
Dari tren tersebut, beragam pertanyaan pun muncul. Mulai dari apa latar belakang tren ini bisa muncul? Siapa sebenarnya yang memproklamirkan tren ini? dan yang paling urgent adalah Apakah memang diwajibkan memakai busana berwarna ‘kuning’ di setiap hari suci Kuningan?
Eksis karena Kata Dasar ‘Kuningan’
Sampai sejauh ini secara legalitas tertulis maupun tidak tertulis, sesungguhnya belum ada yang tahu pasti, kapan tanggal awal munculnya tren pemakaian busana adat dengan warna kuning di setiap hari suci Kuningan. Dari segi latar belakang, hanya baru muncul sebuah dugaan sementara yang berhubungan dengan kata dasar hari suci ‘Kuningan’ itu sendiri. Secara etimologi, hari suci Kuningan jika digali dari segi bahasa Indonesia, akan menemukan kata dasar ‘Kuning’. Kata dasar Kuning inilah yang banyak dihubungkan dengan warna kuning, sehingga menjadi sebuah latar belakang tren ini muncul di hari suci Kuningan masa kini. Terlebih hal ini juga di dukung oleh perkembangan busana adat yang kian berkembang dari hari keharinya, baik dari sisi inovasi motif maupun kreasi warna.
Dipopulerkan oleh Kalangan Anak Muda
Sama seperti latar belakangnya, nama orang yang memproklamirkan pemakaian tren busana berwarna kuning setiap hari suci Kuningan juga belum ada yang mengetahui secara pasti. Namun jika berkaca mata dari tren ini yang eksis lewat media sosial, dapat diketahui jawaban secara sementara bahwasanya pihak yang mempopulerkan tren ini adalah kalangan anak muda. Hal ini sesuai dengan refleksi fenomena hari suci Kuningan masa kini, dimana para anak muda akan berlomba-lomba untuk mengepost foto mereka yang tengah berbusana adat berwarna kuning untuk diperlihatkan kepada teman-temannya. Hal ini pun kemudian berkembang menjadi sebuah tren. Tren ini kemudian mulai menginvasi pikiran anak muda agar tidak ketinggalan zaman dalam memeriahkan hari suci Kuningan menggunakan busana adat berwarna kuning. Tidak jarang pula, tren ini mendapatkan legitimasi secara tidak langsung oleh kalangan orang tua. Hal ini menyebabkan orang tua juga turut ingin eksis mengepost foto mereka dengan memakai busana adat berwarna kuning di media sosial, sebagai wujud kebersamaan dengan anak di hari suci Kuningan.
Bukan Sesuatu Hal yang Wajib
Meskipun menjadi sebuah tren di hari suci Kuningan masa kini, memakai busana adat berwarna kuning di hari suci Kuningan bukanlah sesuatu hal yang wajib. Hal tersebut dikarenakan belum adanya sumber sastra Hindu yang mengamanatkan hal demikian. Ditambah lagi kata ‘kuning’ dalam kata ‘Kuningan’ bukanlah sesuatu yang serta merta dapat diartikan secara prematur sebagai hari berpakaian serba kuning. Lebih mendalam selain warna (dalam Sudarsana, 2003: 72), kata ‘kuning’ dalam hari suci Kuningan lebih mengarah pada makna “Amertha” yang memiliki arti sebagai anugrah suci kehidupan. Sementara kata ‘Kuningan’ sesungguhnya berasal dari “Keuningan” yang memiliki arti “Kepradnyanan”. Untuk itulah, hari suci Kuningan sesungguhnya lebih mengarah pada hari umat manusia untuk meminta anugrah (Amertha) dalam bentuk kepradnyanan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Terutama dalam manifestasinya dalam wujud Sang Hyang Mahadewa dan para Dewata-Dewati. Hal ini sesuai dengan isi kutipan Lontar Sundharigama (Sudarsana, 2003: 73) sebagai landasan umat Hindu untuk melaksanakan suatu hari suci yang berbunyi sebagai berikut:
“Saniscara Keliwon Wara Kuningan Payoganira Bethara Mahadewa Tumuruna Pepareng Para Dewata Muang Sang Dewa Pitara, Inanggapa Bhaktin Manusa, Amaweha Waranugeraha Amertha Kahuripan….”
Terjemahan:
“Hari Sabtu Kliwon Wuku Kuningan merupakan hari beryoga-Nya Sang Hyang Mahadewa dibarengi dengan Para Dewata dan Para Leluhur yang telah disucikan. Dengan sikap bhakti manusia, diperolehlah anugrah kesucian kehidupan…”
Jadi dari seluruh penjelasan tersebut dapat diketahui bersama bahwa belum ada legitimasi pasti mengenai latar belakang, kapan, dan siapa yang memproklamirkan tren pemakaian busana berwarna kuning di hari suci Kuningan untuk pertama kali. Hal ini murni hanya sebuah tren yang dikaitkan dengan kata ‘kuning’ pada kata ‘Kuningan’ yang identik dengan salah satu nama warna, kemudian dipopulerkan oleh anak muda melalui media sosial. Dari sana dapat disimpulkan juga bahwa tren pemakaian busana berwarna kuning di hari suci Kuningan bukanlah sesuatu hal yang wajib. Sudah seyogyanya juga umat Hindu menanggapi hal ini dengan bijak dan tidak perlu terlalu memaksakan diri untuk harus berbusana serba kuning di setiap hari suci Kuningan. Terlebih lagi dapat memunculkan sikap minder untuk berhari raya karena belum mampu mengikuti tren tersebut. Di satu sisi, tren ini sesungguhnya masih sah-sah saja untuk tetap dilakoni, asalkan tetap dalam koridor sewajarnya. Hal ini memiliki maksud, tren ini dilakukan hanya murni sebagai wujud cinta kasih kepada Hyang Widhi karena menganugrahi umat hari suci Kuningan. Bukan refleksi sifat ego yang dapat mengarahkan diri menjadi pribadi yang sombong dan meremehkan kemampuan finansial orang lain.
SUMBER REFERENSI
Bradut, Ketut. 2020. Lawak Bali, Hari Raya Kuningan Serba Kuning, https://m.youtube.com/watch?v=UZd_Bt6tMKU.Diakses 19-November-2021. Sudarsana, I. B. Putu. 2003. Ajaran Agama Hindu Acara Agama Edisi II. Denpasar: Yayasan Dharma Acarya.