Momentum penetapan Peringatan 1 Mei atau yang lebih dikenal dengan sebutan may day sebagai Hari Buruh Internasional harus diingat sebagai sebuah pencapaian revolusi kaum buruh untuk berjuang melindungi hak dan keberadaanya yang lebih manusiawi. Perjuangan panjang itu dimulai sejak tahun 1886 di Amerika Serikat sebagai reaksi dari kemuakkan kaum buruh terhadap diskriminasi yang dilakukan kaum borjuis dalam memberlakukan jam kerja. 350.000 buruh melakukan aksi mogok kerja dan menimbulkan kekhawatiran pemerintah setempat, sehingga tindakan represif dilakukan oleh pihak kepolisian dengan menembaki para demonstran dan menewaskan 8 buruh serta 200 lainnya terluka.
Di Indonesia, penetapan hari buruh surut tenggelam dibeberapa decade. Paranoid Orde Baru konsisten melahirkan konstruksi bahwa peringatan may day tidak lebih sebagai gerakan kaum kiri dalam menyuarakan tuntutannya yang kerap kali diidentikan sebagai kegiatan Partai Komunisme. Tuntutan yang disampaikan kaum buruh saat itu seputar kenaikan upah kerja, cuti hamil, dan penyediaan jaminan sosial bagi para buruh. Polemik jumlah buruh yang turun kejalan kian lama semakin banyak dan berlanjut hingga era Presiden SBY, akhirnya pada tahun 2013 membuahkan keputusan bahwa 1 Mei ditetapkan sebagai hari libur nasional untuk memberikan penghormataan dan penghargaan bagi kontribusi kaum buruh di Indonesia.
Tuntutan kemudian berkembang seiring perkembangan dunia industri akan produktivitas. Sistem Outsourcing atau alih daya menjadi satu terobosan yang penerapannya justru kian merugikan kaum buruh. Dilematis penerapan sistem tersebut hadir karena ketidakjujuran dalam penerapan UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan., yakni hadirnya pekerja illegal, penilaian yang tidak transparan, sampai dengan absennya sanksi dari pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan perusahaan terhadap kaum buruh. Outsourcing sebenarnya memberikan peluang kerja yang lebih banyak dan membuka kesempatan para calon pekerja mengembangkan potensinya. Alasan yang patut dipertimbangakan mengenai tuntutan penghapusan sistem alih daya yakni akan melemahkan kondisi perusahaan yang justru memicu bentuk proteksionisme lain seperti pengalihan subsidi dan peringanan pajak bagi perusahaan.
Memandang beban kerja yang cukup berat, jaminan sosial adalah bentuk perlindungan yang harus diberikan kepada seluruh pekerja dan sanksinya secara tegas telah diatur dalam UU BPJS pasal 55 yang menyatakan bagi perusahaan yang tidak membayar iuran BPJS untuk karyawannya akan terancam hukuman pidana penjara paling lama 8 tahun dan denda 1 Miliar Rupiah. Berdasarkan data BPS di tahun 2016 jumlah angkatan kerja sebanyak 120.647.697 orang. Jika dibandingkan dengan angka kepesertaan BPJS, maka kepesertaan BPJS Kesehatan berdasarkan data per 28 Februari 2017 adalah 10.127.263 orang pekerja. Dengan rincian perusahaan swasta 9.626.631 pekerja dan BUMN baru sebanyak 500.632 pekerja. Sementara untuk BPJS Ketenagakerjaan per 31 Desember 2016 tercatat jumlah peserta hanya 22.600.000 orang pekerja. Terdiri dari 22.025.246 orang karyawan perusahaan swasta dan 574.574 orang karyawan BUMN. Dari data tersebut dapat kita simpulkan bahwa BUMN belum secara patuh melaksanakan Undang-Undang dalam memberikan jaminan sosial bagi karyawannya. Pemerintah melalui Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang diatur dalam UU no. 40 tahun 2004 telah memberikan berbagai bentuk jaminan sosial bagi para pekerja lewat BPJS Ketenagakerjaan yakni Jaminan Kesehatan, Kematian, Kecelakaan Kerja, Sosial Hari Tua, dan Jaminan Jasa Konstruksi. Sosialisasi secara massive patut dilakukan untuk memastikan setiap buruh mendapatkan jaminan sosial selama bekerja.
Disamping hiruk pikuk penyediaan Jaminan Sosial, bentuk perhatian dan perlindungan terhadap Diaspora Indonesia di Luar Negeri juga harus menjadi catatan penting. Diaspora Indonesia kini menemui tantangan akan Dwi Kewarganegaraan. Hal dilematis seperti ini apabila tidak direspon dengan tepat oleh pemerintah, akan dapat merugikan pemerintah itu sendiri. Disamping itu, bentuk perlindungan terhadap Tenaga Kerja Indonesia dengan menghentikan pengiriman pekerja disektor informal seperti pembantu rumah tangga sangatlah tepat menilai kekerasan kerap dialami oleh para pekerja disektor tersebut.
REKOMENDASI
1. Mendorong BUMN dan Perusahaan Swasta melakukan transparansi dalam pelaksanaan serta penentuan standar maksimal terhadap sistem Outsourcing sesuai dengan UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
2. Mendorong BUMN dan Perusahaan untuk memastikan seluruh pekerjanya mendapatkan Jaminan Sosial sesuai amanat UU No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
3. Mendesak Pemerintah dalam meningkatkan kualitas Jaminan Sosial Ketenagakerjaan yang harus diterima oleh para pekerja sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku.
4. Mendorong Pemerintah memberikan perhatian dan perlindungan terhadap Diaspora dan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri sebagai wujud apresiasi dan penegakkan kedaulatan Nasional.