Saat seorang dokter tak bisa lepas dari stetoskop, saat seorang pengacara terlihat khas dengan permainan tata bahasanya, ketika melihat burung yang seolah biasa untuk terbang, maka mendengar kata Hindu, citra hari raya Nyepi seolah melekat mencerminkan identitas kuat Hindu itu sendiri.
Nyepi biasanya dilaksanakan bersama keluarga dengan hening dan penuh dengan rasa damai, serta sukacita menyambut hari yang menjadi peralihan tahun baru saka tersebut. Namun tidak semua orang mampu melaksanakan dengan keadaan persis seperti demikian. Bagi sebagian orang, pelaksanaan Catur Brata Penyepian akan terasa lebih sempurna jika kondisi sekitar mampu menunjangnya. Kondisi yang dimaksud adalah bersama keluarga besar, berada dirumah dengan suasana sepi dan masyarakat sekitar adalah mayoritas Hindu. Hal tersebut dianggap akan membuat pelaksanaan catur brata penyepian lebih khusuk. Secara tidak langsung, lingkungan memberi andil dalam maksimalisasi pelaksanaan Catur Brata Penyepian.
Namun sebagian orang justru berfikir, untuk mampu melaksakan Catur Brata Penyepian tetap kembali kepada bagaimana individu tersebut dalam memaknai dan melaksanakannya. Lingkungan dianggap hanya sebagai pengaruh sekunder. Paradigma tersebut memang dapat dibenarkan bagi orang-orang yang mungkin sudah mendalami spiritual lebih lanjut dan tidak lagi terpengaruh oleh sisi duniawi. Namun jika paradigma tersebut dipandang oleh orang-orang yang masih dalam proses memantapkan atau baru ”ingin” meningkatkan spiritualnya dan atau bagi orang yang bertempat tinggal jauh dari orang tua serta berada pada lingkungan masyarakat non-Hindu seperti mahasiswa, karyawan yang bekerja di tempat dia tidak berdomisili dan lain sebagainya Kondisi lingkungan sekitar sangat menjadi tantangan dan memberi pengaruh besar dalam melaksanakan Catur Brata Penyepian. Ditambah lagi, potret toleransi yang masih rendah menambah besar tantangan tersebut. Tantangan tersebut dikemukakan secara spesifik berikut ini:
1. Pertama, amati geni. Berarti tidak menyalakan api dan segala sesuatu yang bersifat sebagai penerangan. Dalam lingkungan non-Hindu tentu sulit bagi mereka ikut memadamkan listrik rumah atau kost-nya, karena mereka berfikir bahwa Nyepi adalah milik orang Hindu dimana yang menjalankannya juga hanya orang Hindu saja. Namun disadari atau tidak, catur brata penyepian mampu menghemat penggunaan energi dunia. Meskipun memadamkan listrik hanya 24 jam, terbukti bahwa Bali mampu menghemat energi sebanyak 4 miliyar ketika Catur Brata Penyepian berlangsung.
2. Kedua, amati karya atau tidak melakukan aktifitas. Manusia memiliki 3 kebutuhan, yaitu kebutuhan primer (pokok), sekunder (sampingan), tersier (penunjang). Kebutuhan sendiri merupakan tuntutan yang harus dipenuhi oleh setiap manusia, karena akan menimbulkan kebahagiaan tersendiri. Sehingga kebutuhan menuntut setiap manusia untuk melakukan aktifitasnya. Dan ini sedikit menghambat hikmadnya pelaksanaan Catur Brata Penyepian. Terbukti pada saat Nyepi, pengunjung Palembang Indah Mall (PIM), salah satu pusat perbelanjaan dan hiburan besar di Palembang, justru lebih ramai disbanding hari biasanya (sumber: Sriwijaya Post.15 Maret 2013.hal 12). Para pengunjung masih terdorong kuat untuk melakukan berbagai transaksi dan permbelanjaan terkait pemenuhan 3 jenis kebutuhan yang sudah disebutkan diatas. Artinya toleransi antar umat beragama dan kesadaran multikultur di Indonesia masih rendah. Sehingga umat Hindu yang berada pada lingkungan non-Hindu akan lebih sulit untut memenuhi Brata amati karya.
3. Ketiga, amati lelungan, artinya tidak bepergian. Kebutuhan masih tetap menjadi penyebab orang-orang untuk berpergian. Kondisi geografis sangat berperan, ketika kita berada di lingkungan mayoritas non-Hindu mungkin hanya kita sendiri yang melaksanakan brata amati lelungan sedangkan orang disekitar kita sebagai umat non-Hindu tetap bepergian dengan mengendarai sepeda motor maupun mobil sebagai kendaraan yang tentu menimbulkan kebisingan yang memecah keheningan kita dan tentunya juga mengurangi kekhusukan kita dalam melaksanakan Brata Penyepian.
4. Keempat, amati lelanguan atau tidak bersenang-sedang. Nyepi yang berasal dari kata sepi, artinya situasi di tempat kita melaksanakan catur brata penyepian harus sepi atau hening. Geografis tentu sangat berpengaruh dalam menciptakan suasana yang hening dan khusuk. Seperti yang penulis alami, sebagai anak kost (rantauan) dan tinggal di lingkungan mayoritas non-Hindu, toleransi masih belum terlihat baik. Ketika Nyepi mereka masih memutar musik dengan speaker, sehingga hal tersebut mengganggu keheningan brata penyepian. Ada juga dari mereka yang berkelakar dengan suara lantang, bahkan mengajak penulis untuk berinteraksi seperti biasa meskipun penulis telah memberikan penjelasan tentang Catur Brata Benyepian.
Meskipun berstatus anak kost, rantauan dan lain sebagainya dengan kondisi yang seolah kontras dengan tujuan dilaksanakannya Catur Brata Penyepian, kondisi sekitar yang tidak mendukung bukan menjadi suatu alasan kuat kita untuk tidak melaksanakannya. Namun tantangan yang terkait dengan sikap toleransi tidak semudah dan se-fleksible kelihatannya, diperlukan kesadaran yang muncul dari diri sendiri. Ditambah muncul fakta lain yang terjadi di tengah sukacita perayaan hari raya Nyepi, yang menyiratkan betapa toleransi dan sikap menghargai Nyepi sebagai ritual sakral masih belum merata tertanam di pemikiran dan paradigma sebagian orang, dimana baru-baru ini ritual Catur Brata Penyepian Tahun Baru Saka 1935 di Yogyakarta yang merupakan salah satu tujuan objek wisata, suasananya tetap ramai. Wisatawan domestik dan mancanegara berbondong-bondong memadati Candi Prambanan. Kendati merupakan peninggalan Kerajaan Hindu, pada perayaan Nyepi objek wisata Candi Prambanan tetap buka untuk umum. Dibuka mulai pukul 08.00 WIB. Biasanya untuk menikmati keindahanan Candi Prambanan, pengunjung dapat membeli tiket seharga Rp 30 ribu per orang untuk wisatawan lokal. Sedangkan untuk wisatawan asing Rp 190 ribu (sumber: Kantor Berita Radio Nasional..Nyepi 2013, Yogyakarta Tetap Ramai.Reporter:Fatmawati Udin). Keadaan ini mungkin saja menganggu atau bahkan bukan menjadi hal yang berarti bagi umat Hindu di Yogyakarta dalam melaksanakan Catur Brata Penyepian. Namun demikian, tetap saja ini mencerminkan betapa paradigma menghargai dan mentoleransi setiap ritual sakral keagamaan belum sama rata disetiap kacamata penglihatan setiap orang.
Tantangan tetaplah tantangan. Ketika tantangan kita biarkan dan sikapi dengan keliru, justru akan dihasilkan badai yang menghancurkan tatanan apik ragam kebudayaan Indonesia. Namun jika kita bisa menemukan sikap yang tepat, kita justru bisa mengalihkan tantangan tersebut dengan memodifikasi keadaan yang dianggap dan terlihat sebagai penghambat menjadi ajang untuk mengeksplorasi lebih jauh budaya dan ritual Nyepi sebagai salah satu bagian kebanggaan dari Hindu ke berbagai lapisan dan keberagaman didalam masyarakat. Karena bagaimanapun juga, Nyepi adalah aset, aset spiritual dan budaya Indonesia, bukan?
BIODATA PESERTA
Peserta 1
Nama : I Kadek Andre Nuaba
Tempat/Tgl Lahir : Karang Sari, 11 Januari 1994
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Utusan : PD KMHDI Sumatera Selatan
No. Anggota : 2011120052
Alamat Sekretariat: Pura Agung Sriwijaya, Jln. Seduduk Putih No. 19 Kenten Palembang
Perguruan Tinggi : Universitas Sriwijaya
Alamat Perguruan Tinggi : Jln. Palembang-Prabumulih KM. 32 Indralaya
Fakultas/Jurusan : Ilmu Komputer/Sistem Komputer
Nomor Induk Mahasiswa : 09111001046
Handphone: +628 56 6484 6308
e-mail : andre_ikan94@yahoo.co.id
Peserta 2
Nama : Ni Wayan Puspa Pandani
Tempat/Tgl Lahir : Air Saleh, 15 Juli 1992
Jenis Kelamin : Perempuan
Utusan : PD KMHDI Sumatera Selatan
No. Anggota : 2011120043
Alamat Sekretariat: Pura Agung Sriwijaya, Jln. Seduduk Putih No. 19 Kenten Palembang
Perguruan Tinggi : Universitas Sriwijaya
Alamat Perguruan Tinggi : Jln. Palembang-Prabumulih KM. 32 Indralaya
Fakultas/Jurusan : Kedokteran/Pendidikan Dokter Umum
Nomor Induk Mahasiswa : 04101401125
Handphone: +628 52 0818 3828
e-mail : wayancardiacaa@yahoo.com