SEKRETARIAT PIMPINAN PUSAT KMHDI

Sekretariat Operasional (Surat Menyurat):
Jalan Kakatua Blok AA No. 14 Perumahan Cipinang Indah II, Kelurahan Pondok Bambu, Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur 13430
* Fax. : 021 – 86600779
Sekretariat Domisili :
Jalan Anggrek Nelly Murni Blok A No. 03, RT/RW 02/03 ,
Kelurahan Kemanggisan, Kecamatan Palmerah – Jakarta Barat 11480

Loading

Oleh:

I Dewa Gede Darma Permana (Kabid Litbang PC KMHDI Denpasar)

Kekuasaan merupakan sebuah hal yang selalu panas untuk diberbincangkan. Ia bak permainan yang penuh akan intrik, atau hanya sekedar gurauan yang menawarkan humor menggelikan. Meskipun demikian, kekuasaan tetaplah bintang yang mampu menarik beribu-ribu atau bahkan berjuta-juta orang untuk berebut menggapainya. Mentasbihkan diri dengan janji-janji manis rasa pengabdian, nyatanya di satu sisi setan pahit juga turut ikut dalam permainan. Tidak mengherankanlah, apabila di suatu waktu tanpa diduga dan tanpa disangka, pergantian kekuasaan bisa datang kapan saja secara tiba-tiba, tanpa amnesty, tanpa undangan, dan pada akhirnya membuat rakyat kesurupan.

Merefleksi Kembali Sebersit Kisah Wiracarita Ramayana

            Pergantian kekuasaan (secara tiba-tiba) bukanlah sesuatu yang baru dalam kehidupan. Hal tersebut bak konflikasi wajib yang ada dalam kisah-kisah besar dunia. Wiracarita Ramayana menjadi salah satu contohnya. Contoh tentang bagaimana sumber, jalan, dan dampak dari pergantian kekuasaan (secara tiba-tiba) tersebut. Hal ini bermula dari seorang tokoh bernama Dewi Kaikeyi sebagai permaisuri ketiga dari Maharaja Dasaratha. Sosok ibu yang sesungguhnya sangat mulia, karena beliau tidak hanya menaruh kasih sayang kepada putra kandungnya ‘Bharata’, tetapi juga menyayangi ketiga putra yang lahir dari permaisuri lain. Bahkan ketika putra sulung ‘Sri Rama’ yang notabene putra tirinya berhasil memenangkan sayembara untuk mempersunting Dewi Sita, Dewi Kaikeyi sebagai seorang ibu juga turut bahagia dan menyetujui rencana petinggi istana untuk menobatkan Sri Rama sebagai raja selanjutnya. Dewi Kaikeyi sadar, betapa besarnya prestasi Sri Rama bagi kerajaan Ayodhya.

            Namun apa yang terjadi pada akhirnya? Sesaat sebelum upacara penobatan, pikiran Dewi Kaikeyi tiba-tiba berubah 180 derajat. Beliau menentang penobatan Sri Rama, dan justru meminta Maharaja Dasaratha untuk menobatkan putra kandungnya ‘Bharata’ sebagai raja pengganti. Terlebih yang lebih mengejutkan, demi benar-benar memastikan tahta Ayodhya jatuh untuk putra kandungnya, Dewi Kaikeyi meminta Sri Rama sebagai raja yang sah untuk diasingkan ke dalam hutan selama 14 tahun. Iblis apa yang sesungguhnya merasuki Dewi Kaikeyi? Dan mengapa seorang Ibu mulia tega melakukan hal demikian?

            Jika ditarik kebelakang, ada dua faktor yang melatarbelakangi Dewi Kaikeyi melakukan hal demikian. Dari faktor eksternal, Dewi Kaikeyi terpengaruh oleh hasutan ‘Manthara’ abdi kerajaannya. Manthara sendiri memang menjadi wanita licik, dan telah merencanakan penobatan pangeran Bharata sebagai raja demi posisi yang lebih tinggi di kerajaan Ayodhya. Kedua dari faktor intern, Maharaja Dasaratha memiliki janji untuk memenuhi 3 permintaan dari Dewi Kaikeyi sebagai buah dari perbuatan masa lalu. Janji inilah yang menumbuhkan sikap egoisme pada diri Dewi Kaikeyi sehingga haus akan kekuasaan. Dampak dari pergantian kekuasaan ini pun langsung terasa. Sri Rama, Dewi Sita, dan pangeran Laksamana pergi mengasingkan diri ke dalam hutan. Maharaja Dasaratha meninggal dunia dalam kesedihan karena ditinggal oleh dua putra dan menantunya. Bharata yang diberikan kekuasan justru merasa malu dan mengutuk ibunya sendiri ‘Dewi Kaikeyi’, dan dari sisi lain, rakyat Ayodhya pun mengalami kesedihan mendalam karena mesti kehilangan pangeran berprestasinya secara terpaksa.

Apa Kabar dengan Kondisi Hari Ini?

            Jika dikaitkan dengan kondisi hari ini, kondisi dalam cerita Ramayana tersebut sesungguhnya memiliki kemiripan dengan fenomena pemberhentian empat Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat (Dirjen Bimas) oleh Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI) (Tempo.com, 2021). Bak pacar yang meminta putus di tengah jalan, pemberhentian ini juga dilakukan oleh Kemenag RI secara tiba-tiba, tanpa alasan yang konkret dan tanpa kejelasan. Pertanyan besar pun muncul, Apakah penggantian ini murni sebuah kebenaran demi kepentingan umat? Atau hanya sebuah kepentingan pribadi layaknya tuah Dewi Kaikeyi?

            Filsafat agama Hindu sesungguhnya telah memberikan umat manusia mengenai empat cara pembuktian kebenaran dalam sebuah fenomena yang disebut dengan Catur Pramana. Catur Pramana ini sendiri, tentu bisa dipergunakan sebagai pisau bedah untuk menguliti fenomena penggantian kekuasaan (secara tiba-tiba) ini, dengan Bapak Tri Handoko Seto dari Dirjen Bimas Hindu sebagai sampelnya.

  1. Dari sisi Pratyaksa Pramana atau pengamatan langsung; sesungguhnya telah banyak kerja, inovasi, dan terobosan yang dilakukan oleh Bapak Tri Handoko Seto untuk umat Hindu di Nusantara. Kinerja tersebut pun bisa diamati secara langsung pada hari ini seperti: telah berdirinya 153 rumah ibadah, adanya 4427 paket beasiswa, dibangunnya 110 Pesraman Hindu, dan dibangunnya 1000 Palinggih. Jadi dengan semua hasil pengamatan langsung tersebut, adakah sebuah kebenaran sebagai dasar pemberhentian Pak Tri Handoko Seto?
  2. Kedua dari sisi Upamana Pramana atau perbandingan; hanya di zaman Bapak Tri Handoko Seto, Dirjen Bimas Hindu berani melakukan belusukan dan mampu mengeluarkan 4 buah aplikasi (e-Pasraman, Wedangga, Sindu, dan e-Arsip) untuk menunjang kehidupan beragama umat Hindu di era 4.0. Dengan menimbang perbandingan tersebut, Apakah keputusan tepat mengganti Pak Tri Handoko Seto dengan tokoh lain?
  3. Ketiga dari sisi Sabda Pramana atau pendengaran langsung; sampai sejauh ini belum pernah ada laporan dari masyarakat atau berita yang menyatakan Bapak Tri Handoko Seto bermasalah atau melakukan kesalahan yang fatal disaat menjadi Dirjen Bimas Hindu. Jadi dengan penjelasan tersebut, Apakah pernah ada laporan dari masyarakat yang menjadi alasan kuat Kemanag RI untuk mengganti Pak Tri Handoko Seto?

Metode keempat sesunggunya adalah Anumana Pramana atau penarikan kesimpulan. Dengan menimbang seluruh penjelasan tersebut, tentu dapat disimpulkan bahwa pergantian kekuasaan secara tiba-tiba untuk Dirjen Bimas Hindu lebih banyak didasari oleh tanda tanya dibandingkan suatu kebenaran. Apabila keputusan ini memang demi kepentingan umat dan dilandasi kebenaran, sudah barang tentu umat akan menyambutnya dengan baik. Namun nyatanya, Kemenag RI belum mengeluarkan alasan rasional yang bisa diterima oleh umat atas dasar kebenaran. Sehingga wajar saja, apabila beberapa organisasi masyarakat, kepemudaan (termasuk KMHDI), dan tokoh-tokoh Hindu mempertanyakan bahkan menyatakan keputusan pemberhentian ini sebagai sesuatu yang tidak benar. Terlebih keputusan mendadak ini malah memunculkan rasa ketidakpastian dan ketidakpercayaan yang memperkeruh suasana kehidupan beragama. Sebuah asumsi liar punmuncul,Apakah ada tokoh Manthara dan Dewi Kaikeyi dibalik ini semua? Satyam Eva Jatate!

Sumber Referensi

*Sumber Referensi akan disertakan apabila Kemenag RI juga menyertakan referensi jelas terkait alasan pemberhatian 4 Dirjen Bimas. (Seimbang toh?)

Share:

administrator