Denpasar, kmhdi.org – Hukum Adat Bali merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat etnis-Hindu di Bali. Hukum Adat Bali mengatur beberapa aspek kehidupan masyarakat mulai dari hukum perkawinan, perceraian, pewarisan hingga pengangkatan anak serta aspek-aspek kehidupan yang lainnya. Sebagai hukum asli tumbuh berdasarkan pada kebiasaan yang hidup dan berkembang di masyarakat, Hukum Adat Bali memiliki peranan yang penting dalam menjaga ketentraman, kebahagiaan, kesejahteraan, dan kedamaian sekala-niskala baik lingkungan desa adat hingga pada lingkaran yang lebih luas.
Meskipun melekat pada masyarakat Hindu di Bali, pada beberapa aspek kehidupan sosial di masyarakat, Hukum Adat Bali juga berlaku bagi masyarakat non-Hindu yang ada di Bali. Ini berarti bahwa tidak hanya masyarakat asli Bali saja yang wajib tunduk kepada Hukum Adat Bali, melainkan masyarakat pendatang dari luar Bali juga tidak luput dari kewajiban untuk menghormati keberadaan Hukum Adat Bali. Oleh sebab itu, maka pemahaman mengenai Hukum Adat Bali harus dimiliki oleh setiap orang yang memiliki berbagai kepentingan di Bali. Kepentingan sebagaimana dimaksud dapat berupa kepentingan berlibur, pendidikan, bekerja, investasi dan lain sebagainya. Ini menjadi penting agar segala bentuk kepentingan yang dilakukan sebagaimana dimaksud sejalan dengan norma-norma yang berlaku di Bali, sehingga keharmonisan sekala-niskala dalam masyarakat Bali tetap terjaga.
Kita perlu menelisik ke belakang terhadap terjadinya berbagai permasalahan berbau penistaan yang pernah muncul pada masyarakat Bali. Pertama, kasus penistaan agama Hindu terkait pembukaan paksa portal akses ke Pantai saat hari raya Nyepi pada tanggal 22 Maret 2023. Kasus ini masih bergulir hingga saat ini, bahkan tidak menutup kemungkinan akan selalu dikenang sebagai bentuk non-toleran umat lain terhadap kesucian hari raya Nyepi di Bali. Kedua, kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Desak Made Darmawati. Seorang dosen yang dulunya memeluk agama Hindu yang dengan terang-terangan menista agama yang dianut sebelumnya dalam sebuah forum akademis. Ketiga, berbagai kasus pelanggaran kesucian pura dan tempat-tempat suci lainnya yang kerap terjadi di Bali seperti; memanjat tempat suci (Pura, Pohon yang disucikan, dls.), hingga berbuat hal-hal tidak senonoh di tempat-tempat yang disucikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu penyebab dari munculnya kasus-kasus tersebut adalah akibat dari kurangnya pemahaman terhadap sistem kepercayaan agama Hindu di Bali dan keberlakuan Hukum Adat Bali sebagai benteng normatif ajeg–nya Bali.
Berdasarkan pada uraian singkat tersebut di atas, sebagai organisasi mahasiswa yang bernafaskan pada semangat kebangsaan dan agama Hindu, Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia Bali (KMHDI – Bali) sudah semestinya memandang penting pemahaman Hukum Adat Bali sebagai pengetahuan wajib yang dibekalkan kepada seluruh kader-kadernya. Lebih dari itu, KMHDI – Bali harus memandang ini sebagai tanggung jawab moral. Sebab secara de facto KMHDI – Bali berkedudukan di Bali.
Kedepan, setelah resmi berlakunya Kitab Undang Undang Hukum Pidana yang baru (KUHP Baru) mungkin menjadi angin segar terhadap penegakan kasus-kasus yang melibatkan sistem-sistem kepercayaan dalam masyarakat Bali. Ini dilihat dari pengenaan sanksi tambahan yang diatur dalam Pasal 64 KUHP Baru tersebut yang mengatur “pemenuhan kewajiban adat” terhadap pelanggaran pidana. Oleh karenanya apabila pemahaman Hukum Adat Bali bagi kader KMHDI – Bali ini benar-benar terimplementasi maka akan memberikan manfaat dalam berbagai aspek. Salah satunya dalam bidang kemampuan untuk berkontribusi dalam penyelesaian permasalahan sosial berbasis Hukum Adat Bali. Selain itu, secara praktis pemahaman Hukum Adat Bali bagi KMHDI – Bali dapat menjadi upaya pelestarian budaya dan keterlibatan dalam masyarakat adat.
Penulis : I Kadek Sukmayasa, S.H (kader PC KMHDI Denpasar)