Oleh: I Komang Adi Saputra (Kader PC KMHDI Denpasar)
Raden Ajeng Kartini, sosok pahlawan nasional yang jasanya begitu besar terhadap bangsa ini. Namanya terabadikan sejarah, dan ajarannya akan senantiasa menerangi perjalanan penerusnya dalam mengarungi laju peradaban.
Sebagai salah satu pionir pembuka jalan bagi emansipasi perempuan di bumi nusantara, membuat namanya begitu dimuliakan di republik ini. Tidak hanya berjuang dalam menentang kolonialisasi Belanda, Kartini juga mesti berjibaku menghadapi raksasa perkasa bernama ‘feodalisme patriarkis’. Kendatipun terlahir dalam lingkungan keraton, tetap saja hak-hak dasarnya sebagai manusia terengut oleh adikuasa raksasa feodalisme tersebut.

Feodalisme patriakis kala itu memediokerkan posisi perempuan pribumi dalam interaksi sosialnya. Dalam beberapa hal hak wanita ditiadakan, sebaliknya kewajiban yang dibebankan padanya tetap seperti sedia kala. Wanita tidak memiliki hak bersuara dihadapan seorang lelaki, baik rajanya, ayahnya, suaminya, maupun abangnya. Jangankan hak mengekspresikan pikiran, hak atas dirinya sendiri pun wanita tidak memiliki kuasa. Kekuasaan atas diri dan tubuhnya secara otomatis dikuasai raja dan ayahnya tatkala ia lajang, dan seutuhnya oleh sang suami tatkala ia telah menikah.
Tidak cukup sampai disitu, perempuan juga tak memperoleh kesempatan untuk menempuh pendidikan, senantiasa diasosiasikan dengan aktivitas dapur dan kasur. Jangankan hak pendidikan untuk kalangan rakyat jelata, kalangan ningrat sekalipun wanitanya tak diperbolehkan menempuh pendidikan.
Dalam dimensi yang begitu senjang antara laki-laki dengan perempuan, Kartini menjadi salah satu pihak yang mencoba menjembatani jurang curam tersebut, dengan memaksimalkan kesadarannya atas ketidakadilan yang merajalela. Kesadaran serta perlawanannya terhadap cengkeraman kolonialisme dan feodalisme tersebut, serta upaya-upayanya dalam memberikan pendidikan kepada kaum perempuan kala itu, membuatnya layak ditasbihkan sebagai pembabat belantara patriarkis, serta pelita penerang menuju tanah lapang kesetaraan gender.
Berbagai tulisan Kartini kala itu mampu menyita perhatian masyarakat Hindia Belanda, karena ketajaman dan kedalaman maknanya. Banyak golongan intelek mengagumi dan menikmati buah pena Kartini. Sampai-sampai kekuasaan imperialis Hindia Belanda dibuat gusar oleh tulisan-tulisan penyadaran Kartini.
Dalam sebuah tulisan, Kartini mengungkapkan: “Perempuan yang pikirannya telah dicerdaskan, pemandangannya telah diperluas, tak akan sanggup lagi hidup di dalam dunia nenek moyangnya,” ini menggambarkan betapa dalamnya ketertenggelaman dan ketertinggalan perempuan pribumi kala itu, khusunya dalam lapang ilmu pengetahuan; betapa termarninalkannya perempuan, sehingga kalau-kalau ia tersadarkan oleh cipratan pendidikan, akan memicu ketidaksudian menjalani adab leluhurnya yang begitu patriarkis dan mengalienasikannya.
Dalam bentuk perlawanan yang lain, Kartini juga meyakini, perempuan dapat menjadi manusia seutuhnya tanpa mesti menanggalkan gendernya sebagai perempuan. Seperti terungkap dalam salah satu tulisannya yang berbunyi: “Kita dapat menjadi manusia sepenuhnya, tanpa berhenti menjadi wanita seutuhnya,”. Hal ini menunjukkan betapa besar warisan Kartini untuk generasi-genrasi sesudahnya. Tentang pentingnya menyuarakan hak perempuan, pentingnya pendidikan untuk perempuan, serta pentinya menjaga martabat perempuan utamanya oleh perempuan itu sendiri.
Nilai-nilai yang ditinggalkan oleh Kartini, akan relevan sepanjang zaman. Sudah seyogyanya preseden tersebut dijadilan sebagai tauladan untuk meneruskan perjuangan sang pahlawan dalam mengisi kemerdekaan dan mengarungi laju peradaban. Warisan monumentalnya tidak hanya untuk dihafal saja, atau dijadikan pajangan media sosial ketika tanggal 21 April tiba (Hari Kartini). Melainkan diresapi secara mendalam, dan dipetik sari-sarinya untuk diejawantahkan dalam kehidupan.
Penerus Kartini dewasa ini seperti kehilangan tauladan, tak menginsyafi ajaran sang pahlawan, bahkan ada yang mengingkari ajarannya. Dan keadaan krisis tauladan seperti sekarang, sudah selayaknya ajaran-ajaran Kartini di kontemplasikan kembali, untuk digunakan sebagai perisai gederasi muda dalam menghadapi dinamika bangsa.
Perjuangan kartini belumlah selesai, masih banyak perempuan di republik ini yang belum memperoleh haknya sebagaimana yang diharapkan Kartini. Kita masih kerap kali menyaksikan perempuan terlempar kejurang ketidakadilan, dengan berbagai tindak kejahatan dan diskriminasi. Ini merupakan pertanda nyata bahwa warisan sang pahlawan mesti dipelajari kembali, serta dilanjutkan perjuangannya.