SEKRETARIAT PIMPINAN PUSAT KMHDI

Sekretariat Operasional (Surat Menyurat):
Jalan Kakatua Blok AA No. 14 Perumahan Cipinang Indah II, Kelurahan Pondok Bambu, Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur 13430
* Fax. : 021 – 86600779
Sekretariat Domisili :
Jalan Anggrek Nelly Murni Blok A No. 03, RT/RW 02/03 ,
Kelurahan Kemanggisan, Kecamatan Palmerah – Jakarta Barat 11480

Loading

Karangasem, kmhdi.org – Karya Agung Ida Bhatara Turun Kabeh di Pura Besakih dimulai sejak 12 April 2025, bertepatan dengan Purnama Kedasa. Momen sakral ini menjadi ruang suci bagi umat Hindu untuk melaksanakan persembahyangan sebagai wujud bhakti dan rasa syukur ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Namun, sayangnya, pelaksanaan karya agung kali ini justru menjadi sorotan publik karena insiden yang mencoreng kesakralan upacara tersebut (16/4)

Insiden tersebut melibatkan perselisihan antara pecalang dan pemedek, yang bahkan berujung pada tindakan kekerasan. Hal ini menyebabkan pihak panitia pelaksana harus melakukan upacara mecaru sebagai bentuk pemulihan keharmonisan yang tercemar. Pecalang sebagai petugas pengamanan adat memiliki tugas mulia, melaksanakan ngayah dengan penuh dedikasi—bahkan seringkali mengorbankan pekerjaan tetap demi pengabdian di desa adat. Namun, kondisi padatnya pemedek, cuaca yang panas, serta kelelahan dalam perjalanan kerap membuat emosi tidak terkendali, baik dari sisi pemedek maupun pecalang.

Dikutip dari akun Instagram (@infokarangasem_id), insiden bermula saat pemedek merasa diarahkan dengan nada tinggi oleh pecalang menuju jalan keluar yang lebih jauh. Rute tersebut memang dialihkan melewati area tempat berdagang yang telah disiapkan oleh panitia, dengan maksud menata jalur pemedek dan sekaligus mendukung geliat UMKM lokal di barat area Pura Besakih. Namun sayangnya, niat baik ini kurang tersampaikan dengan cara yang tepat, sehingga menimbulkan rasa keberatan di pihak pemedek, dan berujung pada adu mulut hingga tindak pemukulan.

Menurut Kader PC KMHDI Karangasem, Ni Luh Desi Padmasari, insiden ini mencerminkan tantangan besar dalam menahan ego manusia—bahkan di tengah upacara sakral dan di tempat yang disebut sebagai “rumah Tuhan”.

“Rajin tangkil ke pura bukan satu-satunya bentuk bhakti. Kebersihan hati dan lingkungan juga harus dijaga. Dalam setiap yadnya, orang-orang bijak selalu mendahulukan kemurnian hati dan niat. Interaksi sesama pun harus dilakukan dengan kasih dan kesadaran, tanpa menyakiti,” ungkapnya.

Ia menekankan pentingnya pengamalan Tri Kaya Parisudha—berpikir, berkata, dan berbuat yang baik—dalam kehidupan sehari-hari, bukan sekadar retorika.

Hal senada disampaikan Kabid Litbang PC KMHDI Karangasem, Ni Wayan Sukarini. Ia sangat menyayangkan terjadinya kekerasan fisik terhadap pecalang, meskipun juga mengakui bahwa pemilihan kata oleh pecalang dalam memberikan arahan turut memicu kesalahpahaman.

“Pemilihan diksi dan tutur kata sangat penting, terlebih dalam situasi padat dan sensitif. Namun, apapun alasannya, tindakan kekerasan tidak bisa dibenarkan. Ini melanggar hukum dan mencemari kesucian pura, terlebih saat berlangsungnya upacara agung seperti ITBK,” tegasnya.

Sebagai manusia yang sadar menuju tempat suci, seharusnya kita mampu menahan diri dan menjaga emosi. Ajaran Tri Hita Karana menekankan pentingnya keharmonisan, bukan hanya dengan Tuhan, tapi juga dengan sesama manusia dan alam. Di mana letak nilai Asah, Asih, dan Asuh bila masih ada caci maki dan tindak kekerasan antar saudara umat?

Mari jadikan setiap karya sebagai refleksi spiritual, bukan sekadar seremonial. Jangan biarkan ego menutupi cahaya dharma. Karena di sinilah seharusnya esensi agama dan budaya kita diuji—bukan hanya dalam sembahyang, tapi juga dalam sikap kita terhadap sesama.

Penulis : Wayan Sukarini (Kabid Litbang PC KMHDI Karangasem)

Share:

administrator