Bandung, kmhdi.org – Mungkin tulisan ini memang tidak penting. Tidak menawarkan solusi, tidak mengobarkan semangat, apalagi menyulap keadaan. Tapi barangkali justru karena terlalu banyak tulisan yang pura-pura solutif, maka keluh kesah ini perlu diberi ruang. Sebab kadang, sebelum menyusun strategi, kita harus jujur mengakui: ada yang sedang tidak baik-baik saja dalam tubuh organisasi ini.
Apa jadinya jika sebuah organisasi hanya menghasilkan pelaksana teknis, tapi tidak melahirkan pemikir? Apa jadinya jika kita sibuk mengisi struktur, tapi lupa membentuk karakter?
KMHDI telah berjalan cukup lama selama kurang lebih hampir 32 tahun sebagai wadah kaderisasi mahasiswa Hindu di Indonesia. Kita punya forum, punya sistem, dan tentu punya sejarah. Tapi belakangan, saya resah melihat gejala yang muncul: kaderisasi kita mulai lebih mirip pabrik instan, ketimbang proses pembentukan yang matang.
Ada yang dengan cepat menapaki struktur dalam hitungan bulan, sebelum sempat menyelami nilai-nilai dasar organisasi. Ada pula yang belum akrab dengan Anggaran Dasar, tapi sudah menjadi “si paling tau” di isu-isu strategis. Tak sedikit yang lantang dalam meneriakkan semangat kolektif, namun masih tertatih saat diminta membaca realitas umat secara utuh. Ini bukan soal menyalahkan siapa pun, tapi soal mengoreksi arah: sebenarnya, apa yang sedang kita bangun bersama?
Jika ini terus dibiarkan, kita bukan sedang mencetak pemimpin umat masa depan, tapi hanya sedang memperbanyak suara tanpa isi. Seolah cukup menjadi keras, meski substansinya tak selalu jelas. Padahal, sejarah tidak pernah menulis mereka yang hanya bersuara. Sejarah mencatat mereka yang berpikir, bergerak, dan merumuskan jalan. Ironisnya, alih-alih membangun kekuatan intelektual dan karakter, kita justru sering terjebak dalam logika pembesaran semu—membesarkan yang belum siap, dan melemahkan yang sejatinya punya potensi besar.
Bukan Sekadar Banyak, Tapi Harus Bernas
Kaderisasi bukan soal seberapa banyak orang yang lulus diklat atau ikut pelatihan. Ia adalah tentang kualitas nalar, kedalaman komitmen, dan integritas perjuangan. Tanpa itu, kita hanya mencetak pengurus yang lulus SK, bukan pejuang yang mengakar pada realitas umat.
Organisasi seharusnya bukan hanya tempat mengasah retorika, tapi juga ruang untuk menempa kesadaran dan kepekaan. Jika kaderisasi kita lebih banyak menghasilkan ‘pembicara’ ketimbang ‘pemikir’, lebih banyak yang ingin tampil dibanding yang mau turun memahami umat di kampung-kampung, maka mungkin kita harus berani berhenti sejenak dan bertanya:
“Apakah kita sedang membentuk kader, atau sedang memproduksi simbol?”
Ketika Solidaritas Diukur dengan Rupiah
Saya menulis ini bukan hanya dari ruang forum, tapi dari ruang duka yang pernah saya alami sendiri. Saat orang tua saya dikremasi, yang muncul bukan sekadar air mata dan doa, tapi pergunjingan: berapa biaya yang saya bayar, sudah sesuai atau belum. Banjar—yang dalam imajinasi ideal seharusnya menjadi rumah suka dan duka— kadang tergelincir menjadi institusi yang menakar solidaritas secara material.
Di waktu yang sama, saya bekerja siang malam demi membiayai kuliah sambil menghidupi keluarga dan menjadi Ketua sebuah organisasi—KMHDI. Tak ada beasiswa, tak ada dispensasi. Sementara saya melihat beberapa orang mendapatkan akses itu dengan mudah, hanya karena domisili mereka “strategis“. Dan umat Hindu bukan hanya mereka yang dekat dengan pusat.
“Kita punya sistem, tapi apakah kita benar-benar punya keadilan?”
Dari Kaderisasi ke Emansipasi: Membangun Jalan yang Baru
Pengalaman-pengalaman semacam ini yang mestinya menjadi bahan bakar perubahan. KMHDI tak bisa hanya jadi tempat yang membanggakan struktur, tapi harus jadi ruang yang membangun karakter dan membasuh luka umat. Kita harus mencetak pemikir, bukan hanya penggerak; pelayan umat, bukan hanya pengatur rapat.
Karena itu, kaderisasi tidak boleh lagi diserahkan pada arus pragmatisme. Ia harus dikembalikan sebagai jalan emansipasi: tempat orang muda Hindu memahami realitas, menyalakan api kritis, dan meletakkan dasar-dasar keadilan sosial. Bukan hanya untuk membangun organisasi, tapi untuk membangun umat.
Pada akhirnya, toh, tulisan ini tidak akan dibaca sampai paragraf ini. Selamat saya ucapkan pada rekan-rekan yang sudi menggulir hingga ke titik ini. Toh, politik umat Hindu hari ini kerap kali masih terjebak pada logika kendaraan, bukan visi perubahan. Dan yak! selamat, kita masih terjebak dalam mengkultuskan simbol. Silahkan, hubungi saya bilamana tidak berkenan atau bahkan anda ada dalam barisan saya. Saya amat menanti ruang-ruang dialektika di KMHDI. Akhir kata, tulisan ini mungkin tidak menawarkan solusi besar, tapi semoga cukup untuk mengganggu kenyamanan semu yang selama ini kita pelihara. Jika hari ini kita mulai bertanya, itu lebih baik daripada terus berjalan tanpa arah. Dan jika hari ini ada yang merasa terusik, semoga itu menjadi awal dari percakapan yang lebih jujur di antara kita.
Penulis : Lingga Dharmananda Siana (Fungsionaris PP KMHDI)