SEKRETARIAT PIMPINAN PUSAT KMHDI

Sekretariat Operasional (Surat Menyurat):
Jalan Kakatua Blok AA No. 14 Perumahan Cipinang Indah II, Kelurahan Pondok Bambu, Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur 13430
* Fax. : 021 – 86600779
Sekretariat Domisili :
Jalan Anggrek Nelly Murni Blok A No. 03, RT/RW 02/03 ,
Kelurahan Kemanggisan, Kecamatan Palmerah – Jakarta Barat 11480

Loading

Bandung, kmhdi.org – Tulisan ini saya buat sebagai bentuk respon atas tulisan kawan saya dari Departemen Kaderisasi PP KMHDI. Saya selalu menikmati tulisan yang ditujukan untuk balas-balasan argumen oleh teman-teman dan kebetulan saya tertarik menanggapi hal yang satu ini, pengkaderan. Bicara soal pengkaderan di organisasi mahasiswa, salah satunya di KMHDI sepertinya sudah jadi rahasia umum jika sistemnya masih mengandalkan model instruktur (trainer) yang dominan. Ibaratnya, mereka duduk di depan, nerangin materi dengan tampilan PowerPoint yang disusun rapih, terus kader di barisan belakang sibuk nyatatatau malah nyari colokan buat ngecas HP. Serius, ini masalah klasik! 

Jadi begini, saya paham betul bahwa para trainer KMHDI punya tanggung jawab besar untuk nyuapin kader dengan materi pengkaderan yang katanya bakalan bikin mereka jadi calon pemimpin yang berkarakter, cerdas, visioner, religius, humanis, nasionalis dan progresif. Tapi, kalau melihat realitas di lapangan, apakah ini sudah benar-benar efektif? Atau malah, pengkaderan kita cuma jadi formalitas tanpa menyentuh aspek yang sebenarnya bikin kader benar-benarterkaderisasi”?

Pengkaderan: Bukan Sekadar Transfer Ilmu

Dalam beberapa kesempatan, saya pernah bincang-bincang dengan kader-kader baru di KMHDI, dan banyak dari mereka yang ngeluh. Instruktur di depan ngomongnya keren, materinya canggih, tapi gue bingung apa yang harus gue serap. Nah lho! Jadi, pengkaderan yang harusnya jadi ajangperbaikanmalah bikin mereka tambah bingung. Kenapa? Karena di kepala banyak orang, pengkaderan itu menyoal transfer ilmu doang. Materi A, Materi B, lalu selesai.

Padahal, ada satu aspek penting yang sering dilupakan dalam proses pengkaderan: emosi. Yup, emosi, Bro! Karena pengkaderan bukan sekadar menyampaikan materi mentah-mentah. Ini bukan kelas kuliah di mana dosen ngoceh di depan dan mahasiswa duduk dengerin sambil setengah hati. Apalagi ini konteksnya mahasiswa ketemu mahasiswa. Kaderisasi, terutama di KMHDI, itu soal bagaimana emosi kader juga ikut dilibatkan.

Bayangkan, ketika kader cuma diposisikan sebagai pendengar, mereka bakal kehilangan sesuatu yang fundamental: keterlibatan emosional. Tanpa emosi yang terlibat, kaderisasi nggak lebih dari sekadar ritual seremonial yang bikin semua orang bosan.

Emosi Itu Kunci Kaderisasi yang Efektif

Emosi itu apa sih? Bukan cuma soal marah atau sedih. Dalam konteks pengkaderan, emosi itu adalah ketika kader merasa terhubung dengan materi yang disampaikan. Emosi adalah ketika mereka merasa peduli dengan apa yang mereka pelajari, dan akhirnya bisa menerapkan ilmu itu dalam kehidupan sehari-hari.

Sayangnya, ini yang sering banget hilang di proses pengkaderan kita. Kebanyakan trainer fokus dengan cara nyampein materi yang—oke lahmetodis dan struktural, tapi mereka lupa bahwa kader itu bukan robot. Mereka butuh sesuatu yang bikin mereka merasa dihargai, didengar, dan yang paling penting, terlibat secara emosional.

Ketika emosi ini diabaikan, kader bakal merasa pengkaderan itu cuma kayak kursus kilat yang materi dan PR-nya lupa dalam semalam. Padahal, yang namanya pengkaderan itu harusnya mengubah cara pandang, perilaku, dan mentalitas kader. Bukan cuma ngisi otak mereka dengan konsep-konsep abstrak.

Mentor: Lebih dari Sekadar Instruktur

Berangkat dari hal ini lah saya mengajukan untuk dipertimbangkan pentingnya peran mentor. Mentor itu lebih dari sekadar trainer yang sekadar nerangin materi terus balik kanan. Mentor adalah orang yang bimbing kader secara personal, bukan cuma soal materi, tapi juga soal pengalaman hidup, cara berpikir, dan bahkan cara menghadapi tantangan.

Saya percaya, mentoring adalah jawaban dari masalah pengkaderan yang terkesan kering dan cuma sekadar hafalan materi. Mentor itu ibaratkan seperti kakak yang tidak hanya mengajarkan adiknya soal teori, tapi juga berbagi soal bagaimana caranya menghadapi masalah di lapangan. Mentor nggak cuma fokus sama hasil akhir—”Oh, ini PowerPoint-nya kurang slide, tolong tambahin.” Mentor lebih fokus sama proses, bagaimana cara kader berpikir, bagaimana mereka bisa menginternalisasi nilai-nilai yang diajarkan, dan bagaimana mereka bisa terlibat secara emosional di dalamnya.

Mentoring dan Pendekatan Personal: Solusi untuk Kader yang Luntang-lantung

Mentoring memberikan kesempatan untuk kader agar bisa ngobrol lebih dalam tentang apa yang mereka pelajari. Bukan cuma sekadar dengerin materi, tapi diskusi secara personal tentang apa yang bikin mereka tertarik, apa yang mereka pahami, dan apa yang mereka rasa perlu didalami lebih jauh. Dengan mentoring, kader nggak cuma jadi penonton pasif yang duduk manis dengerin ceramah, tapi mereka jadi pemain aktif yang ikut berproses.

Mentoring juga ngebuka ruang buat kader curhat—yes, curhat! Karena dalam proses belajar, banyak hal yang nggak bisa diselesaikan hanya dengan ceramah formal. Kadang, kader butuh didengarkan, butuh dilurusin perspektifnya, dan di sinilah peran mentor. Mentor itu pendengar yang baik, fasilitator ide, dan motivator. Jadi, kalo selama ini kader merasaluntang-lantungsetelah sesi pengkaderan, bisa jadi karena mereka nggak dapet pendampingan yang cukup dari mentor yang beneran nge-guide mereka, bukan cuma ngasih instruksi.

Di satu sisi trainer juga harus sadar, posisi mereka bukan buat jadi “yang paling tahu.” Pengkaderan itu nggak butuh hierarki yang bikin jarak antara pengajar dan peserta. Sebaliknya, trainer seharusnya jadi fasilitator yang bantu kader buat nemuin potensi terbaik dalam diri mereka. Kalau terus-terusan ngerasa paling hebat, kapan kader bisa berkembang? Mereka butuh sosok yang bisa jadi teladan, bukan cuma pengkoreksi kesalahan.

Kesimpulan: Saatnya Pengkaderan yang Lebih Bermakna

Pengkaderan di KMHDI itu seharusnya lebih dari sekadar menyampaikan materi. Harus ada unsur emosi di dalamnya, yang bikin kader tidak hanya sekadar mengerti, tapi juga peduli. Instruktur jangan hanya menyampaikan materi ala kuliah, tapi juga harus buat kader merasa bahwa mereka bagian penting dari perjalanan pengkaderan itu sendiri.

Solusinya? Perbanyak peran mentor. Mentoring membuat kader merasa lebih diperhatikan, lebih terhubung, dan lebih siap menghadapi tantangan nyata. Pengkaderan tidak boleh hanya berhenti di PowerPoint. Harus ada dialog, diskusi, dan pendampingan yang lebih mendalam.

Sebagai contoh, setelah menjadi seorang trainer melalui ToT di regional masing-masing, selain menyampaikan materi tugas trainer adalah untuk mempertemukan kader baru dengan teman-teman atau senior yang ahli di bidang mereka minati yang akan menjadi mentor mereka masing-masing, sehingga proses pendampingan sesuai kemampuan dan cita-cita mereka terwadahi dan pada akhirnya mendapatkan value dari ber-KMHDI.

Dengan mentoring yang baik, kita bisa menciptakan pengkaderan yang lebih bermakna, yang nggak cuma menyampaikan materi, tapi juga bikin kader terlibat secara emosional dan jadi pemimpin yang sesungguhnya. Karena mentor itu tidak hanya membuat hidup kader lebih mudah, tapi juga memberi mereka arahan seperti GPS yang selalu tahu jalan pintas. Karena kalau hanya trainer yang memaparkan slide PowerPoint terus hilang, ya kader bakal stuck di tempat, seperti motor mogok di tengah jalan.

Akhir kata saya ucapkan selamat dan salut pada PP KMHDI yang telah mencetak ratusan trainer, semoga baik dari tulisan saya dapat diambil, buruknya cukup kita obrolkan pribadi saja.

 

Disusun oleh : Lingga Dharmananda Siana (Ketua PD KMHDI Jawa Barat) 

Share:

administrator