INDONESIA DALAM ERA POST MODERN, PENGARUH TERESKALASINYA RIVALITAS POLITIK TERHADAP MINIMNYA KEDAULATAN PENGELOLAN EKONOMI DALAM NEGERI
Oleh: I Komang Adi Saputra
Post modern adalalah kesinambungan dari modernisme. Post-modern merupakan gerakan penghujung abad ke-20 dalam bidang sosial, ekonomi, seni dan politik. Post modern merupakan masa dimana, suatu hal dapat mudah sekali terganti dengan sesuatu hal yang baru jika hal tersebut memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan hal yang yang lain. Semua penilaian hanya terdapat pada rasa. Dalam artian pada Post modern ini apa pun bisa menjadi seni. Perbedaan antara media dan realitas telah runtuh, masyarakat post modern sekarang hidup dalam sebuah realitas yang didefinisikan oleh gambar dan representasi . Keadaan ini yang disebut sebagai keadaan hiper-realitas. Semua ide-ide tentang kebenaran hanya berfungsi sebagai klaim.

Indonesia di era post-modern masih harus bergelut dalam atmosfer konteslasi politik yang tinggi. Hal tersebut juga dipicu oleh masih masifnya hegemoni aktor-aktor politik lama. Wajah-wajah usang tersebut masih memainkan politik praktisnya secara intens implikasinya adalah suhu politik dalam negeri menjadi cukup tinggi, hal tersebut memberikan pengaruh terhadap stabilitas supremasi eksekutif yang sedang bercokol ditampuk kekuasaan. Fenomena demikian akan mempengaruhi konsentrasi eksekutif dalam menjalankan roda pemerintahan dan terjadi pembiasaan orientasi. Kualitas pelayanan publik yang disuguhkan kepada masyarakat juga menjadi tidak sesuai dengan apa yang diharapakan publik. Keadaan seperti itu juga berimplikasi terhadap sektor perekonomian. Lantaran kurang antusias dalam mengelola perekonomian internal beberapa lini ekonomi setrategis nasional yang justru didominasi oleh orang asing. Hal tersebut akan berpengaruh terhadap kemandirian ekonomi nasional dan kesejahteraan masyarakat.
Kontestasi politik dalam negeri beberapa tahun terahir pasca revormasi memiliki tensi yang cukup tinggi. Hal tersebut mengindikasikan atusiame masyarakat dan pelaku politik mengalami peningkatan pula. Kendati demikian atmosfer politik tidak berahir sampai pada berhasilnya sebuah suksesi dan terpilihnya seorang pemimpin atau anggota legislatif, tetapi masih berlanjut bilamana seorang sudah mengisi kursi kekuasaan. Tindakan eksekutif dan legislatif tendensi mengandung unsur politis. Bukan hanya oposisi, koalisi juga mengeskalasikan aktivitas politiknya guna merealisasikan agenda-agenda internal partai. Entitas politik ekonomi makin marak terjadi, laksana jamur dimusim hujan. Fenomena tersebut selaras dengan menggeliatnya rivalitas politik. Setiap koalisi terbentuk, terjadi pula kesepakatan posisi yang nantinya akan mengisi slot jajaran menteri kabinet tatkala konstelasi politik sudah berhasil dimenangkan. Pebisnis besar juga tidak lumput mengambil peran dan bagian dalam aktivitas bagi-bagi kursi kabinet, hal tersebut dibuktikan dengan beberapa kementrian dinahkodai oleh seorang pebisnis. Keterlibatan korporasi dalam konstelasi politik juga kerap kali terjadi, ketika masa kampanye dilaksanakan beberapa korporasi akan manunjukkan empatinya dalam bentuk stimulasi dana terhadap salah satu paslon yang mereka anggap potensial memenagkan pemilu. Sikap filantropi korporasi tersebut bukan berarti tanpa maksud dan tujuan, sudah dapat dipastikan dibalik keperduliannya terdapat sebuah kalkulasi-kalkulasi yang kelak akan disodorkan takkala konstetasi politik diselenggarakan.
Aktivitas politik ekonomi yang demikian akan menyebabkan terjadinya konflik kepentingan, dan dalam hal-ihwal ini, lagi dan lagi tak pelak rakyat yang akan menjadi penyintas dari komersialisasi politik. Negosiasi politik akan dimulai diinternal koalisi, dan dalam kesempatan tersebut pula akan ada beberapa kepentingan rakyat yang dikorbankan untuk merealisasikan agenda politik tertentu. Konflik kepentingan akan semakin tajam tatkala kepentingan kapitalis berkonfrontasi dengan kepentingan rakyat, dan dalam keadaan seperti demikian akan terdapat disparitas perlakuan pemerintah terhadap rakyat dan korporasi. Politik dewasa ini sudah menjadi komoditas vital bagi beberapa pihak. Karena dengan akses politik bisa dijadikan sebagai alat untuk meloloskan beberapa tujuan yang hendak dicapai.
Pengelolaan ekonomi di Indonesia mendapatkan intervensi politik yang cukup masif, entitas tersebut menjadi batu sandungan bagi perkembangan perekonomian dalam negeri. Realisasi kebijakan ekonomi kerap kali tertangguhkan tatkala tidak kunjung tercapainya sebuah kesepakatan diantara elit politik yang menegosiasikan kebijakan tersebut sehingga berdanpak terhadap kehidupan masyarakat. Lebih dari 7 (tujuh) dekade Republik Indonesia melepaskan diri dari cengkeraman dan kungkungan kolonis barat serta berdiri sebagai negara yang merdeka. Tetapi dalam sektor ekonomi tampaknya Indonesia belum bisa merdeka seutuhnya seperti yang dicita-citakan oleh para founding fathers Indonesia seperti presiden Soekarno. Ia memiliki konsep bernegara dengan nomenklatur Trisakti Bung Karno. Ajaran tersebut beliau cetuskan dengan harapan kelak bangsanya bisa menjadi bangsa yang berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi dan berkepribadian kebudayaan. Dalam beberapa jenis kebutuhan vital dalam negeri seperti kebutuhan pangan Indonesia masih bergantung dengan negara-negra lain, hal ini sangatlah ironi lantaran secara letak geografis Indonesia adalah negara agraris dengan haya memiliki dua musim saja dalam setahun dan luas wilayah yang mencapai 1,905 juta kilo meter persegi ,seharusnya Indonesia mampu memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri dan bahkan mampu menjadi senteral sektor pangan di Kawasan Asia Tenggara. Lebih dari itu melihat potensi sumber daya alam Indonesia yang sangat melimpah seharusnya Indonesia mampu menasbihkan diri menjadi titik ordinat patron ekonomi dunia.
PEMBAHASAN
INDONESIA DALAM ERA POST MODERN, PENGARUH TERESKALASINYA RIVALITAS POLITIK TERHADAP MINIMNYA KEDAULATAN PENGELOLAN EKONOMI DALAM NEGERI
Abad 21 adalah masa dimana semua lini kehidupan tidak ada yang terlepas dari jamahan teknologi. Awal abad 21 disebut pula sebagai masa lahirnya era post-modern. Ditengah menggeliatnya berbagai macam teknologi informasi kesadaran dan atensi masyarakat terhadap situasi politik, sosial dan ekonomi dalam negeri semakin meningkat. Hal tersebut terefleksi dalam respon masyarakat terhadap isu politik yang diperbincangkan secara luas di jagad maya. Keadaan tersebut juga dilihat sebagai peluang oleh politisi, mereka memanfaatkan modia sosial sebagai arena berkampanye. Metode kampanye konvensional seperti pengerahan massa untuk rapat umum mulai dirasa kurang efektif. Di balik keramaian massa dengan berbagai atribut, dirasa sepi makna dan memerlukan biaya yang cukup besar juga. Keramaian ide, gagasan, dan visi-misi terasa mulai berpindah ke ruang-ruang maya. Diskusi, konfrontasi dialektis, bahkan saling tuduh secara frontal begitu bebas terjadi di berbagai flatform media sosial. Untuk kalangan yang relatif terdidik, kampanye menggunakan media sosial lebih efektif ketimbang baliho dan spanduk. Kalangan intelektual dan well inform tidak mudah percaya dan termanifulasi oleh isi baliho atau spanduk, mereka memiliki tendensi lebih percaya terhadap lingkungan sosialnya di dunia maya. Di sini dapat dikatakan bahwa setiap orang dapat berpengaruh bagi orang lain. Maka, secara berseloroh, di media sosial tidak lagi berlaku one man one vote, tetapi satu orang bisa memiliki kekuatan setara puluhan, ratusan, atau ribuan lebih orang. Keadaan tersebut memicu kemunculan wajah-wajah baru dalam panggung politik tanah air.
Di tahun ini Indonesia akan menginjak usia 76 tahun. Di usia yang sudah mendekati kesatu abad, Indonesia belum bisa terlepas dari masalah yang esensial seperti kemiskinan dan kepastian hukum. Keadaan tersebut semakin pelik tatkala badai pandemi Covid-19 menerpa Indonesia, sektor ekonomi menjadi yang paling terdampak oleh pandemi Covid-19 setelah sektor kesehatan. Banyak perusahaan yang terpaksa menutup usahanya lantaran terdampak pandemi Covid-19. Hal itu juga memicu terjadinya pemberhentian karyawan bersekala besar yang berimplikasi terhadap kuantitas pengangguran semakin bertambah serta diiringi pula oleh tereskalasinya tingkat kemiskinan ditanah air. Kendati demikian ihwal permasalah ekonomi sebenarnya tidak semata-manta disebabkan lantaran terjangan pandemi Covid-19 saja, faktor minimnya dasar ekonomi yang kuat juga menjadi penyebab signifikan terjadinya krisis ekonomi. Dalam sektor pangan Indonesia belum bisa berdikari spenuhnya, beberap komoditi fundamental seperti beras, gula dan bahkan garam masih impor dari negara lain. Ketergantungan Indonesia terhadap negara lain memunculkan entitas permasalahan yang nyata tatkala pandemi Covid-19 melanda dunia pada umumnya dan Indonesia pada kususnya.
Dalam proses perjalanan bangsa Indonesia sudah mengalami tujuh kali proses pergantian Presiden. Proses suksesinya pun diwarnai dengan beberapa gejolak yang menjadi catatan sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Dari ketujuh tokoh yang pernah menahkodai bangsa Indonesia tampaknya rata-rata hampir menghadapi problem yang serupa kecuali pak Soeharto, tetapi diakhir masa jabatannya beliau gagal mendefensi serangan oposisi yang berkoalisi dengan mahasiswa dan rakayat sehingga dapat juga dilengserkan. Kurang berhasilnya pemimpin-pemimpin tersebut membangun pondasi ekonomi yang kokoh lantaran terlalu berfokus pada ofensi dari oposisi, orientasi mempertahankan supremasi kekuasaan yang menyebabkan beberapa program dalam sektor ekonomi gagal terealisasi. Hal ini juga memicu tertangguhkannya kemandirian ekonomi nasional, fenomena demikian terjadi lantaran setiap kebijakan dipolitisir oleh pihak-pihak yang berkepentingan dan memiliki otoritas.
Di era Orde Baru pemerintah dalam menghadapi krisis ekonomi yang parah tersebut, Presiden Soeharto mengetengahkan strategi pembangunan ekonomi kapitalis dengan mengandalkan pasar sebagai tolak ukur keberhasilan ekonomi masyarakat atau yang sering disebut dengan model ekonomi Keynesian. Untuk mendukung strategi ini, pemerintah melakukan korporatisme dengan para pelaku bisnis dalam negeri dan memanfaatkan dana bantuan asing dengan sejumlah investasin. Perekonomian Indonesia di bawah pemerintahan presiden Soeharto melesat tinggi. Pencapaian tersebut membuat Indonesia sempat disebut sebagai Macan Asia, bersanding dengan negara-negara seperti Jepang, Taiwan, sampai Korea Selatan.
Keberhasilan pemerintah orde baru dalam membangun perekonomiannya tak bisa dilepaskan dari tangan Widjojo Nitisastro. Ia dianggap sebagai arsitek perekonomian rezim Soeharto. Demi memperbaiki perekonomian dalam negeri, Widjojo percaya bahwa sistem ekonomi yang mencakup pasar, fiskal, maupun utang luar negeri harus dimodernisasi. Tujuannya agar kelak perekonomian Indonesia bisa melahirkan trickle down effect, kebijakan yang ditujukan untuk memberi keuntungan bagi kelompok kaya akan menetes pula ke rakyat miskin melalui perluasan kesempatan kerja dan pasar sampai distribusi pendapatan.(Tirto.id, 2021). Kendati Widjojo berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi dan menekan laju inflasi, namun pencapaian tersebut tidak seindah yang terlihat dari luar dan meninggalkan lubang besar setelahnya. Keinginan Widjojo untuk melibatkan negara dalam urusan ekonomi tidak dibarengi penguatan institusional sehingga membuka ruang lebar akan munculnya praktik korupsi oleh Soeharto dan kroni-kroninya. Hal tesebut merupakan entitas hegemoni politik yang menjadi batu sandungan terhadap langkah perekonomian nasional menjadi berdikari seutuhnya.
Menurut pengamatan Emmerson (dalam Amirul Mustofa, 2020: 22) disebutkan bahwa, “pada masa Orde Baru, permainan dalam birokrasi tidak lebih dari arena politik tidak hanya didominasi aktor tunggal, tetapi ada sejumlah kelompok kepentingan yang saling memberikan pengaruh instrumen rasional dalam kebijakan”. Di sisi lain, Emmerson tidak melihat bahwa kepentingan yang berada di luar kelompok elit atau kepentingan masyarakat menjadi agenda pembicaraan kebijakan publik yang berarti. Dengan kata lain, bahwa dalam formasi kebijakan publik, pemerintah cukup dominan dalam memilih dan menentukan aktor atau kelompok elit yang dipilih.
Jackson (dalam Amirul Mustofa, 2020: 18) pada studinya di Indonesia, “ia melihat bahwa betapa besar dominasi pemerintah dalam memainkan perannya di setiap kebijakan publik pada perjalanan politik Orde Baru, sehingga kepentingan masyarakat terabaikan sama sekali”.
Dominasi asing dalam ihwal ekonomi intes terjadi sejak rezim Orde Baru berkuasa. Masuknya modal-modal asing di Indonesia membuat industrialisasi di Indonesia menjadi ketergantungan. Salah satu modal terbesar yang masuk ke Indonesia adalah Jepang. Sejak akhir 1960-an Jepang telah menjadi negara yang paling penting dalam hal investasi modal di Indonesia. Perusahaan-perusahaan transnasional Jepang telah merelokasikan industri-industri mereka di Indonesia dalam rangka memangkas biaya upah tenaga kerja. Strategi pemeritahan Orde Baru meletakkan peran modal asing memiliki tujuan untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomian Indonesia. Ketergantungan pada sumber dana asing selama masa awal pemerinthan Orde Baru dapat dilihat dalam fakta bahwa masa tiga-perempat REPELITA I (1964-1974) didanai oleh pinjaman asing, yang tumbuh hingga US$ 877 juta di tahun terakhir (1974). Memasuki tahun 1972, hutang asing baru sejak 1966 telah melebihi semua hutang luar negeri yang diwariskan oleh pemerintahan Soekarno berbeda dengan apa yang semula diharapkan, ada juga tendesi meningkatnya ketergantungan dalam proses produksi dan bahan mentah. Ketergantungan tersebut memicu semakin masifnya dominasi asing dalam sektor ekonomi. Bukan hanya diera orde baru saja eksistensi asing bergumul di Indonesia, tetapi sampai sekarang pun keberadaannya tetap ada serta hegemoninya semakin masif.
Dominasi kapital asing ditanah air kini semakin meluas dan menyebar pada sektor-sektor strategis perekonomian. Posisinya semakin kuat pada sektor-sektor fundamental, seperti keuangan, energi dan sumber daya mineral, telekomunikasi, serta perkebunan. Dengan dominasi asing seperti itu, perekonomian sering kali terkesan tersandera oleh kepentingan mereka. Keadaan seperti ini dapat menghambat akselerasi ekonomi nasonal secara komprehensif. Lantaran dampak dari aktivitas ekonomi tersebut tidak dapat dirasakan oleh masyarakat sepenuhkan. Sebagian besar surplus dari aktivitas ekonomi tersebut masuk kedalam kantong kapital asing, masyarakat hanya mendapatkan ampasnya saja sedangkan sarinya diambil oleh korporasi asing dan sebagian lagi dinikmati oleh elit politik yang punya otoritas. Implikasinya terhadap masyarakat bukan hanya pada aspek ekonomi saja, aspek sosial, hukum dan budaya juga terdampak. Selain kesejahteraan masyarakat yang semakin terongrong, kesidupan sosialnya juga sudah mulai terengut. Di beberapa daerah ditanah air kerap kali masyarakat adat menjadi korban dari kebengisan kapital dan politisi.
Seperti yang terjadi di kabupaten Boven Digul, Papua. Konsesi yang dikeluarkan oleh pemerintah serta ekspansi kebun sawit yang dilakukan oleh PT.Korindo (perusahaan asal korea selatan) sudah merengut merengut hak-hak masyarakat adat disana. Praktik pengalihan hak kelola tanah adat tersebut sangat merugikan, Lantaran masyarakat adat disana menggantungkan kehidupannya dari tanah tersebut. Secara tidak langsung mengambil tanah masyarakat adat adalah entitas perampasan terhadap masa depan generasi ke generasi masyarakat adat. Lebih buruk lagi, kehidupan komunal masyarakat kelak akan menjadi tergantung pada perusahaan perkebunan. Sedangkan jaminan dari perusahaan ihwal pertanggung jawabannya dalam jangka Panjang masih belum ada kepastian.
Perusahaan-perusahaan itu menerapkan cara yang sama untuk mengambil tanah adat. Mereka datang bersama pejabat lokal dan aparat keamanan, mengatakan bahwa akan ada perusahaan kelapa sawit membuka usaha. Kehadiran pejabat lokal dan aparat keamanan juga menjadi tekanan tersendiri bagi masyarakat adat. Seolah-olah ada kewajiban bahwa tanah adat harus dilepaskan, karena jika tidak akan muncul tuduhan bahwa masyarakat tidak mendukung pembangunan.(voaindonesia.com, 2020)
Peristiwa seperti diatas merupakan satu dari ratusan peristiwa serupa yang terjadi di Indonesia. Masyarakat kecil rentan sekali menjadi penyintas dari kepentingan pihak-pihak yang haus akan kekuasaan dan harta. Kesejahteraan tampaknya sulit terwujud, tatkala kebebasan dan otonomi rakyat atas tanah dan rumahnya tidak ada kepastian. Fenomena tersebut merupakan implikasi dari praktik politik ekonomi. Maladministrai dalam pelayanan publik dan disparitas penegakan hukum juga kerap kali terjadi, hal tersebut memicu terjadinya rentetan masalah sosial yang berkesinambungan.
Dalam ihwal kebijakan, politik memiliki peranan yang masif. Atmosfer politik memberikan implikasi yang signifikan terhadap stabilitas ekonomi. Hal tersebut terjadi lanataran intervensi politik disegala lini kehidupan bernegara memiliki tensi yang tinggi. Pihak yang memiliki kontribusi saat proses suksesi dilaksanakan jelas memainkan peran yang signifikan lantaran kesepakatan-kesepakan yang sudah terjadi saat awal proses konstelasi tersebut. Korporasi, kepompok aristokrat dan aktor politik dengan misi partainya mempolitisir kebijakan sehingga dampaknya tendensius terhadap kepentingan mereka bukan rakyat. Korporasi besar memperoleh privilese dalam aktivitas ekonominya, preferensi tersebut tercermin dalam mudahnya korporasi mendapatkan konsesi dari negara. Dalam praktiknya terdapat pula disparitas perlakuan pemerintah terhadap kepentingan rakyat dan korporasi. Tatkala aktivitas korporasi berbenturan dengan usaha kecil menenga kepuyaan rakayat, selalu ada marginalisasi terhadap kepentingan rakyat kecil. Kenyataan seperti demikian menambah kuatitas pengangguran dan tinggat kesejahteraan masyarakat akan sulit mengalami peningkatan.
Di Indonesia peran usaha kecil menengah memiliki kontribusi yang besar terhadap perekonomian nasional, Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM (usaha kecil menengah) Republik Indonesia, Sensus Ekonomi dari Badan Pusat Statistik pada 2016 menunjukkan besarnya kontribusi UMKM. Berikut ini sumbangan UMKM terhadap perekonomian Indonesia yaitu mampu menyerap hingga 89,2 persen dari total tenaga kerja, menyediakan hingga 99 persen dari total lapangan kerja, menyumbang 60,34 persen dari total PDB nasional, menyumbang 14,17 persen dari total ekspor dan menyumbang 58,18 persen dari total investasi.(Kompas.com, 2019).
Melihat kontribusi usaha kecil menengah yang esensial terhadap ekonomi nasional, tampaknya sangat ironi jika harus terpinggirkan lantaran tidak memiliki akses politik dan hukum untuk tetap mempertahankan eksistensinya dalam dunia pasar bebas.
Bukan hanya local boy saja yang memainkan peran secara aktif dalam kancah perekonomian nasional, tetapi pihak asing juga ikut nimbrung dan menjalankan aktivitas ekonominya dengan akses politik yang diperoleh dari petugas partai yang memegang wewenang. Dominasi asing semakin kuat pada sektor-sektor strategis, seperti keuangan, energi dan sumber daya mineral, telekomunikasi, serta perkebunan. Dengan dominasi asing seperti itu, perekonomian sering kali terkesan tersandera oleh kepentingan mereka. Per Maret 2011 pihak asing telah menguasai 50,6 persen aset perbankan nasional. Dengan demikian, sekitar Rp 1.551 triliun dari total aset perbankan Rp 3.065 triliun dikuasai asing. Secara perlahan porsi kepemilikan asing terus bertambah. Per Juni 2008 kepemilikan asing baru mencapai 47,02 persen. Hanya 15 bank yang menguasai pangsa 85 persen. Dari 15 bank itu, sebagian sudah dimiliki asing. Dari total 121 bank umum, kepemilikan asing ada pada 47 bank dengan porsi bervariasi.(Kompas.com, 2011).
Menurut Sri Adiningsih, ada dua penyebab dominasi perusahaan berbendera asing di Indonesia yaitu: pertama, karena pemberlakuan kebijakan ekonomi liberal melalui beberapa kesepakatan seperti; WTO, ACFTA dan ASEAN Economy Community. Menurutnya, kesepakatan tersebut akan memberikan dua dampak. Satu sisi akan menarik banyak investor, tapi di sisi lain justru akan menggerus bisnis domestik, khususnya para pengusaha kecil dan menengah. Misalnya, gempuran barang-barang kosmetik dan furnitur dari Cina, kedai/toko convience store asing, produk tektil serta manufaktur
Penyebab kedua karena ketidaksiapan pemerintah dalam menghadapi liberalisasi ekonomi. Ia menilai, pemerintah tidak menyiapkan dua hal sebelum diberlakukannya ekonomi pasar bebas. Antara lain: menyiapkan dunia usaha dalam negeri dan regulasi yang pro lokal. Salah satu caranya dengan proteksi, peraturan yang konsisten antar pusat- daerah dan antar. Ia memprediksi kerugian negara akan semakin besar, baik yang terlihat maupun yang tidak. Indonesia hanya akan dijadikan sebagai pasar dan penonton dalam banyak industri. Kondisi seperti itu sudah bisa terlihat dibeberapa sektor seperti : F&B dan FMCG. Dampak lainnya adalah besarnya nilai kerugian negara setiap tahun, khususnya ekspor impor jasa yang selalu mengalami defisit karena lebih banyak memakai jasa dari luar negeri melalui kapal, pesawat dan lain-lain. Di tahun 2011 negara mengalami defisit hingga US$ 10 miliar, sedangkan tahun 2012 diperkirakan mencapai US$ 20 miliar.(Swa.co.id, 2012).
Hubungan politik dengan sektor ekomomi di Indonesia sangatlah kohesif. Hal tersebut dapat dilihat dari relasi para pemilik korporasi dengan politisi. Dapat dikatakan bahwa syarat untuk membangun usaha yang bersekala besar di tanah air haruslah memiliki akses politik selain modal, lantaran peran aktor politik yang sangat mendeterminasi eksistensi korporasi. Bahkan tidak jarang para politisi yang merangkap profesi yaitu sebagai pengusaha dan anggota parlemen/kabinet. Fenomena seperti itu tidaklah asing bagi masyarakat Indonesia. Berdasarkan penelitian Marepus Corner bertajuk ‘Peta Pebisnis di Parlemen: Potret Oligarki di Indonesia’ menemukan, sebanyak 55 persen anggota DPR merupakan pengusaha yang tersebar di berbagai sektor.
Sebanyak 26 persen pebisnis tersebut merupakan pemilik atau owner perusahaan, dan 25 persen menjabat sebagai direktur atau wakil direktur. Kemudian, 36 persennya masih aktif dalam melakukan kegiatan berusaha. Persentase pebisnis terbanyak berasal dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yaitu 23 persen, diikuti Partai Gerindra sebesar 16 persen dan Partai Golkar sebesar 16 persen. Secara sektoral, para pebisnis tersebut berkecimpung paling banyak di sektor energi dan migas (15 persen) serta teknologi, industri, manufaktur dan ritel (15 persen). Sisanya, tersebar di sektor developer dan kontraktor (12 persen), sektor perkebunan, perikanan dan peternakan (11 persen) hingga keuangan dan perbankan (6 persen).( Liputan6.com, 2020).
Keadaan seperti demikian sangat rentan sekali terjadi konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang. Entitas seperti ini mengindikasikan kerentanan agenda kerja komisi terhadap bisnis tertentu, terlebih absennya aturan yang mengatur penempatan anggota di komisi. Dominasi pebisnis di DPR juga berpotensi mengukuhkan konsentrasi kekuasaan oligarki dalam pembuatan kebijakan, yang ujungnya membuat agenda politik demokratis berbasis nilai semakin sulit diperjuangkan di parlemen. Produk kebijakannya pun menitiberatkan dan tendensius pada kepentingan ekonomi bisnis dan cenderung mengabaikan aspek keadilan sosial, lingkungan, termasuk partisipasi publik yang inklusif. Tidak hanya di Lembaga legislatif, anggota kabinet juga tampaknya banyak yang berkecimpung di dunia bisnis. Bahkan mendominasi dlam sektor pertambangan seperti Luhut.
Sejarahnya pebisnis yang kemudian terjun ke politik di Indonesia dimulai pada era kepemimpinan mantan Presiden Soeharto dengan Golkar sebagai organisasi politiknya. Kemapanan Golkar membuat banyak pebisnis tergoda dan tertarik menjadi anggota Golkar dan kemudian menjadi politikus sekaligus tokoh Golkar dimana aktivitas bisnisnya tetap berjalan. Sebut saja Fahmi Idris, Aburizal Bakrie, Jusuf Kalla, Fadel Mohammad, Arifin Panigoro, Siswono Yudhohusodo dan lain-lain. Tentu saja orang-orang yang dimaksud tersebut punya alasan masing-masing memilih Golkar sebagai kendaraan politiknya. Umumnya pebisnis yang masuk ke partai politik diterima dengan senang hati oleh partai politik yang bersangkutan. Alasannya apalagi kalau bukan soal dana. Partai politik membutuhkan dana yang tidak sedikit untuk menggerakkan roda organisasinya dan mempunyai anggota yang pebisnis sukses diharapkan dapat menjadi donator internal partai.
Dalam hal kepentingan bisnis, para pelaku bisnis di Indonesia seringkali harus berurusan dengan pelaku politik atau politikus. Politikus yang dimaksud adalah orang yang menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Setelah era reformasi, maka peran DPR sebagai institusi politik berupa badan legislasi meningkat tajam. Untuk kepentingan bisnis, beberapa pebisnis acapkali melakukan lobi kepada (anggota) DPR. Seringkali lobi yang dilakukan kebablasan dengan melakukan suap kepada anggota DPR Lihat saja kasus yang menyeret Al Amin Nasution, Sarjan Tahir, Yusuf Emir Faisal, Abdul Hadi Djamal dan Bulyan Royan ke pengadilan karena tuduhan korupsi. Hal tersebut dapat terjadi karena pebisnis yang berkepentingan dengan proyek-proyek Pemerintah berusaha memuluskan izin proyeknya dengan cara memberi imbalan kepada anggota-anggota DPR.(Situmorang, 2016).
Ekonomi Indonesia tampaknya belum bisa berdikasi seutuhnya, hal tersebut terefleksi dalam beberapa sektor vital ekonomi nasional didominasi oleh pihak asing. Tidak hanya masifnya entitas hegemoni korporasi asing, tetapi ketergantungan Indonesia dalam ihwal ekonomi juga intens, hal tersebut bisa dilihat dari kuatitas impor Indonesia. Bukan hanya di sektor teknologi, Indonesia juga masih sangat bergantung terhadap negara lain dalam sektor pangan. Beberapa jenis pangan untuk keperluan dalam negeri masih didatangkan dari luar negeri. Kenyataan seperti demikian sangatlah ironi mengingat Indonesia adalah negara agraris yang hanya memiliki dua musim saja dalam satu tahun. Penyebab utama Indonesia gagal mengakomodir kebutuhan pangan dalam negeri adalah kurangnya atensi pemerintah terhadap sektor pertanian. Bukan hanya ihwal pembibitan, pupuk dan ketersediaan tanah saja yang tidak diacuhkan, tetapi distribusi pemasarannya juga kurang diindahkan oleh pemerintah. Hal tersebut diperparah dengan keberadaan tengkulak yang memainkan harga hasil pertanian masyarakat. Regulasi yang memihak petani kecil juga belum ada entitasnya. Justru sebaliknya banyak tanah pertanian masyarakat yang diserobot korporasi besar lantaran pihaknya sudah mengantongi konsesi dari pemerintah. Selain dirongrong tengkulak, petani juga dihimpit oleh eksistensi korporasi besar yang memiliki sumber daya disegala lini. Kenyataan demikian adalah anomali yang sangat kontras dengan nilai-nilai yang dianut oleh bangsa Indonesia. Semakin hari jumlah petani semakin sedikit, regenerasi sektor petani tidak berjalan lantaran anak muda enggan menjadi seorang petani. Hal itu dipicu oleh tidak adanya kepastian untuk seorang petani. Disisi lain dalam satu tahun jutaan sawah bertransformasi menjadi perumahan dan ruko. Kebijakan yang diambil pemerintah akan mematikan produksi pangan petani dalam negeri dikarenakan kebijakan impor beras dan impor daging masih terus diberlakukan. Semakain hari petani lokal semakin termarginalkan.
Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih mengatakan, “kebijakan pemerintah terkait kedaulatan dan peningkatan kemandirian pangan saat ini justru banyak yang tidak berpihak pada petani kecil. Menurut Henry, seluruh kebijakan yang dibuat tidak berakar pada masalah mendasar petani Indonesia yang sebagian besar tidak memiliki tanah produksi. Sementara sebagian tanah dikuasai perusahaan besar yang melakukan alih fungsi ke non pertanian, seperti perusahaan perkebunan sawit, karet, kehutanan dan perusahaan property.(Kompas.com, 2016).
Fenomena demikian sangat mempengaruhi perekonomian Indonesia, lantaran sektor tersebut memiliki peranan yang sangat fundamental dan vital. Dilhat dari segi potensi Indonesia memiliki kans yang besar untuk menjadi patron pangan dan perekonomian di Kawasan asia tenggara. Kedaulatan ekonomi Indonesia dapat terwujud melalui revormasi yang dimulai dari sektor-sektor yang esensial seperti pertanian dan UMKM. Mereduksi hegemoni asing dan mengurangi praktik-praktik politisasi kebijakan akan menjadi awal yang baik menuju berdikasinya ekonomi nasional sehingga kemaslahatan kehidupan masyarakat dapat terwujud sesuai dengan cita-cita luhur bangsa Indonesia.
KESIMPULAN
Di usia yang sudah mendekati kesatu abad, Indonesia tampaknya belum bisa terlepas dari masalah yang esensial seperti kemiskinan dan kepastian hukum. Kurang berhasilnya pemimpin-pemimpin dalam membangun pondasi ekonomi yang kokoh menjadi salah satu pemicunya. Selain itu tensi politik yang senantiasa tinggi menjadi faktor lain. Pemimpin yang sedang berkuasa memiliki tendensi terlalu berfokus pada eksistensi kekuasaannya daripada membuat sebuah penetrasi ekonomi yang Tangguh. Konfrontasi politik juga menjadi penyebab beberapa program dalam sektor ekonomi gagal terealisasi. Atmosfer politik memberikan implikasi yang signifikan terhadap stabilitas ekonomi. Hal tersebut terjadi lanataran intervensi politik disegala lini kehidupan bernegara memiliki tensi yang tinggi. Pihak yang memiliki kontribusi saat proses suksesi dilaksanakan jelas memainkan peran yang signifikan lantaran kesepakatan-kesepakan yang sudah terjadi saat awal proses konstelasi tersebut. Korporasi, kepompok aristokrat dan aktor politik dengan misi partainya mempolitisir kebijakan sehingga dampaknya tendensius terhadap kepentingan mereka bukan rakyat. Korporasi besar memperoleh privilese dalam aktivitas ekonominya, preferensi tersebut tercermin dalam mudahnya korporasi mendapatkan konsesi dari negara. Dalam praktiknya terdapat pula disparitas perlakuan pemerintah terhadap kepentingan rakyat dan korporasi. Tatkala aktivitas korporasi berbenturan dengan usaha kecil menenga kepuyaan rakayat, selalu ada marginalisasi terhadap kepentingan rakyat kecil. Kenyataan seperti demikian menambah kuatitas pengangguran dan tinggat kesejahteraan masyarakat akan sulit mengalami peningkatan. Praktik politik ekonomi secara tidak langsung memberikan implikasi yang signifikan terhadap perekonomian negara. Keterlibatan kapital dalam politik menjadi awal dari termarginalkannya hak masyarakat. Korporasi yang menunjukkan sikap filantrofinya terhadap politisi tidak semata-mata entitas kedermawanan. Tetapi ada maksud lain yang hendak ia capai. Dunia kapital menganggap investasi politik adalah bisnis yang potensial untuk negara seperti Indonesia, takkala mereka berhasil menginfiltrasi kebijakan disanalah titik dari kejayaan kapital. Fenomena seperti itu sudah sudah barang tentu akan menggerogoti kedaulatan ekonomi nasional. Dilhat dari segi potensi Indonesia memiliki kans yang besar untuk menjadi patron pangan dan perekonomian di Kawasan asia tenggara. Kedaulatan ekonomi Indonesia dapat terwujud melalui revormasi yang dimulai dari sektor-sektor yang esensial seperti pertanian dan UMKM. Mereduksi hegemoni asing dan mengurangi praktik-praktik politisasi kebijakan akan menjadi awal yang baik menuju berdikasinya ekonomi nasional sehingga kemaslahatan kehidupan masyarakat dapat terwujud sesuai dengan cita-cita luhur bangsa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Amirul Mustofa, 2020. Ekonomi Politik Pembangunan Kebijakan Privatisasi dan Aliansi Politik BUMN,
Utomo Pres, Surabaya.
Kompas.com, 2011. Ekonomi Indonesia didominasi asing. https://money.kompas.com/read/2011/05/23/07263157/Ekonomi.Indonesia.Didominasi.Asing. Diakses: 20 Agustus 2021.
Kompas.com, 2019. Peran umkm terhadap perekonomian nasional.
https://www.kompas.com/skola/read/2019/12/20/120000469/peran-umkm-dalam-perekonomian-indonesia?page=all Diakses: 20 Agustus 2021.
Kompas.com, 2016. Kebijakan pemerintah di sektor pertanian belum memihak petani. https://nasional.kompas.com/read/2016/09/25/06000051/kebijakan.pemerintah.di.sektor.pertanian.belum.berpihak.pada.petani?page=all Diakses: 20 Agustus 2021.
Liputan6.com, 2020. 55 persen anggota dpr pengusaha potensi kenflik kepentingan besar.
https://www.liputan6.com/bisnis/read/4378020/penelitian-55-persen-anggota-dpr-pengusaha-potensi-konflik-kepentingan-besar Diakses: 23 Agustus 2021.
Swa.co.id, 2012. Dua penyebab dominasi perusahaan asing di Indonesia.
https://swa.co.id/swa/trends/marketing/dua-penyebab-dominasi-perusahaan-asing-di-indonesia Diakses 20 Agustus 2021.
Tirto.id, 2021. Kejayaan dan kejatuhan ekonomi orde baru ala widjojo nitisastro,
https://tirto.id/kejayaan-dan-kejatuhan-ekonomi-orde-baru-ala-widjojo-nitisastro-eksx Diakses: 15 Agustus 2021.
VOAIndonesia.com, 2020. Hilang hutan adat karena ekspansi sawit di Papua,
https://www.voaindonesia.com/a/hilang-hutan-adat-karena-ekspansi-sawit-di-papua/5502087.html Diakses: 15 Agustus 2021.