Denpasar, kmhdi.org – Pimpinan Daerah Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (PD KMHDI) Bali laksanakan Diskusi publik dengan tema “Masa Depan Subak Menghadapi Mega Proyek Tol Gilimanuk-Mengwi” yang bertempat di Pasraman Satyam Eva Jayate, Penatih, Denpasar Timur pada, Senin (5/9).
Menghadirkan tiga narasumber yaitu DR(HC). Ida Bagus K Susena, S.Kom (Ketua Puskor Hindunesia), I Made Kariada, SE., SH., MH. (Pakar Hukum), Gede Kamajaya, S.Pd., M.Si. (Sosiolog Universitas Udayana), diskusi berjalan dengan lancar.

Dalam pemaparan materi oleh Bapak Ida Bagus Susena menyatakan bahwa pembangunan Mega Proyek Tol Gilimanuk-mengwi yang dilakukan tidak berkeadilan sosial serta tidak memperhatikan hak dan kepentingan masyarakat. Menurutnya, rencana pembangunan tersebut akan menerabas banyak rumah masyarakat lokal di kabupaten Jembrana, Tabanan dan Badung. Selain itu juga akan memberi dampak buruk pada sektor pertanian yang akan menerabas ratusan hektar sawah produktif, terlebih lagi Bali sudah mengalami defisit pangan.
“Subak sebagai akar kebudayaan Bali. Namun saat ini peraturan yang berpihak kepada subak atau sektor pertanian di Bali masih sangat lemah. Sangat banyak petani sering tidak mendapat air dikarenakan air dimaksimalkan untuk kepentingan pariwisata. Alih fungsi lahan yang semakin tak terkendali untuk pembangunan rumah dan proyek-proyek seperti Tol Gilimanuk-Mengwi padahal subak merupakan warisan budaya dunia yang diakui oleh UNESCO sejak tahun 2012,” paparnya.
Ida Bagus Susena juga menambahkan bahwa pembangunan di Bali sebagai ekosistem pulau kecil tidak bisa disamakan dengan pulau besar seperti Pulau Jawa. Pembangunan di Bali harus mengedepankan kebutuhan religious dan budaya dengan mengacu pada unsur Tri Hita Karana.
“Shortcut dirasa masyarakat lebih cocok dikarenakan mampu mempercepat akses tanpa menerabas subak dan rumah masyarakat. Sistem transportasilah yang perlu kita perbaiki aspal di jalan arteri dan angkutan umum yang nyaman,” imbuhnya.
Senada dengan itu, Bapak Gede Kamajaya menyampaikan bahwa Eksploitasi besar besaran terhadap air tanah Bali menyebabkan menurunnya air tanah di Bali sekitar 50-meter pada tahun 2019. Beliau menambahkan kondisi Masyarakat Bali yang sangat tabu untuk berbeda pendapat dan dalam realita lebih sering suryak siu dan tak berani berargumen karena sering kali menjadi sorotan jika berbeda pendapat.
“Pembanguanan haruslah Sustainable atau berkelanjutan untuk memikirkan generasi selanjutnya dan tidak hanya untuk kepentingan sesaat, partisipatif harus melibatkan masyarakat terdampak serta masyarakat secara umum, dan ekologis melaui uji kelayakan oleh kementria lingkungan hidup. Tiga hal tersebut tidak dapat dilihat secara partial atau tidak bisa dipisahkan dari syarat pembangunan di Bali,” jelas Gede Kamajaya.
Hadir dalam diskusi, Bapak Kariada menyampaikan bahwa pembangunan jalan Tol Gilimanuk-Mengwi hanya melakukan komunikasi satu arah, dimana rakyat hanya diberitahukan tanpa ada dialog dan juga banyaknya ketidaktahuan publik terkait dengan hal teknis seperti data jumlah lahan sawah, hutan, dan rumah yang terancam terkena Mega Proyek ini.
“Jalan arteri yang sudah ada inilah yang seharusnya menjadi jalur yang bebas hambatan dengan memastikan tidak ada truk over dimention over loading yang pastinya akan membuat jalan menjadi lancar. Pembangunan Bali di era sekarang cenderung tidak melibatkan publik dan dilaksanakan secara diam-diam dan komunikasi satu arah tanpa melibatkan pertimbangan maupun aspirasi masyarakat yang akan terdampak dari setiap pembangunan. Dialog dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Bali perlu dilakukan masyarakat untuk trasnparansi informasi,” pungkasnya.