SEKRETARIAT PIMPINAN PUSAT KMHDI

Sekretariat Operasional (Surat Menyurat):
Jalan Kakatua Blok AA No. 14 Perumahan Cipinang Indah II, Kelurahan Pondok Bambu, Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur 13430
* Fax. : 021 – 86600779
Sekretariat Domisili :
Jalan Anggrek Nelly Murni Blok A No. 03, RT/RW 02/03 ,
Kelurahan Kemanggisan, Kecamatan Palmerah – Jakarta Barat 11480

Loading

“Dharma Agama berarti membangun Hindu untuk Indonesia, Dharma Negara berarti membangun Indonesia untuk Hindu.”

Antara Kesunyian Doa dan Kebisingan Aksi: Dua Ekstrem yang Tak Pernah Bertemu

Bandung, kmhdi.org – Di tengah dinamika umat Hindu, khususnya di kalangan muda, kita sering menjumpai dua kutub yang berjalan tanpa saling menyapa. Yang pertama, mereka yang tenggelam dalam kesalehan ritual—hadir di setiap upacara, menyalakan dupa dengan khusyuk, membaca kidung dengan nada penuh penghayatan. Tapi di saat yang sama, mereka nyaris tak peduli ketika terjadi penggusuran desa-desa, penolakan rumah ibadah, atau diskriminasi pendidikan agama. Mereka ada di barisan depan upacara, tapi absen ketika umat berteriak minta keadilan.

Di sisi lain, kita punya tipe kader yang seolah terlahir untuk turun ke jalan. Setiap kebijakan diskriminatif langsung disambut dengan poster dan pengeras suara. Mereka punya energi besar untuk menantang negara, tapi kerap melupakan akar spiritualitas yang seharusnya menjadi fondasi dari gerakannya. Sering kali, doa hanya jadi pembuka formal acara, bukan napas perjuangan. Tempat ibadah dianggap “urusan orang tua”—bukan ruang perenungan, tapi sekadar simbol yang tidak lagi relevan.

Kedua ekstrem ini—kesalehan yang pasif dan aktivisme yang kosong—sama-sama kehilangan arah dharma. Yang satu menjadikan agama sebagai pelarian dari realitas, yang lain menjadikan aksi sebagai pelarian dari sunyi batin.
Yang kita butuhkan bukan kader yang memilih salah satu, tapi yang mampu menjahit keduanya: yang bisa bermeditasi dengan tenang, namun tetap peka pada jeritan ketidakadilan. Yang mampu menunduk di depan altar, namun juga bersuara di forum publik. Karena sesungguhnya, dharma tidak pernah membenturkan tempat ibadah dengan medan juang—ia justru menuntut keduanya bersatu.

Dharma Agama: Bukan Cuma Sembahyang, Tapi Juga Membaca Realitas

Bagi sebagian besar kader KMHDI, dharma agama seringkali dipersempit hanya pada aktivitas ritual: ngayah di pura, mendukung kegiatan banjar, dan memastikan upacara agama berjalan lancar. Seolah-olah, jika kita sudah hadir di setiap pura dan ibadah, kita sudah menjalankan dharma agama dengan sempurna. Tentu, itu penting. Tapi, apakah dharma agama hanya sebatas itu?

Apa maknanya kita begitu khusyuk dalam ritual jika kita membiarkan ketidakadilan terjadi di sekitar kita? Apa artinya segala sembahyang dan persembahan jika kita absen dalam mendorong perubahan nyata bagi umat yang terpinggirkan? Seharusnya, dharma agama itu lebih dari sekadar merawat kebesaran pura atau tradisi kita. Ia harus mengajak kita untuk turut serta dalam realitas sosial yang lebih besar.

Dharma agama bukan hanya soal menjaga tradisi, tetapi juga soal keberpihakan. Ia harus hadir dalam tindakan nyata untuk memperjuangkan hak-hak umat, bukan hanya mengisi waktu di dalam pura. Jangan sampai kita menjadi umat yang hanya datang ke pura, tetapi absen saat saudara-saudara kita berjuang untuk mendirikan tempat ibadah, atau saat adik-adik kita kesulitan mendapat pendidikan agama yang layak.

Keberpihakan sosial adalah bagian dari dharma agama yang harus kita hayati, bukan sekadar menunggu berkah dari upacara. Karena pada akhirnya, jika kita tidak sadar, kita akan terus terjebak dalam rutinitas tanpa makna—melakukan ritual yang tampak lengkap, tapi mengabaikan esensi ajaran agama yang sesungguhnya.

Dharma Negara: Tak Cukup Marah, Harus Punya Arah

Dalam banyak situasi, kita sering kali terjebak dalam semangat advokasi yang menggebu-gebu tanpa fondasi yang jelas. Mereka yang berteriak di jalan, menuntut keadilan, berjuang untuk perubahan, sering kali hanya mengisi ruang dengan suara tanpa isi. Aktivisme semacam ini mungkin tampak heroik, tetapi tanpa pemahaman ideologis yang mendalam, ia hanya menjadi gema kosong yang tidak membawa perubahan substansial.

Dharma negara, dalam pandangan kita sebagai umat Hindu, seharusnya tidak hanya terwujud dalam kemarahan yang meluap-luap atau dalam aksi-aksi simbolis yang memenuhi ruang publik. Tentu, marah itu penting, tetapi lebih penting lagi untuk menyalurkan kemarahan itu dalam bentuk gerakan yang terstruktur, berlandaskan pemikiran yang matang dan jelas. Aktivisme yang hanya muncul dari ketidakpuasan tanpa pemahaman ideologis, hanya akan menjadi kebisingan yang melupakan esensi dari perubahan itu sendiri.

Seberapa sering kita melihat “aktivis” yang sibuk mengkritik pemerintah, namun ketika diminta untuk memberikan solusi konkret, mereka hanya diam? Seberapa sering kita mendengar orang-orang marah karena ketidakadilan, namun tak memiliki gambaran tentang sistem yang lebih baik atau visi jangka panjang? Tanpa arah, tanpa pemahaman yang mendalam, marah menjadi sia-sia—tak ada perubahan yang terjadi, hanya ritual kebisingan belaka.

Dharma negara menuntut lebih dari sekadar reaksi instan terhadap masalah. Ia menuntut pemikiran jangka panjang, perencanaan yang matang, dan aksi yang tidak hanya berdasarkan kemarahan sesaat, tetapi berdasarkan visi yang lebih besar untuk negara dan umat. Menjadi kader yang berjuang untuk negara, bukan berarti kita hanya bersuara keras tanpa tahu ke mana arah kita. Kita harus tahu bagaimana melangkah, tidak sekadar berteriak.

Jika kita ingin menuntut perubahan, kita harus mampu menawarkan alternatif. Jika kita ingin melawan ketidakadilan, kita harus tahu apa yang kita perjuangkan dan mengapa. Dalam dharma negara, marah itu sah, tetapi lebih penting untuk bergerak dengan arah dan tujuan yang jelas. Jangan biarkan semangat kita terbuang sia-sia hanya karena kita tidak tahu ke mana harus berjalan.

Dharma Agama dan Dharma Negara: Dua Jalan yang Tak Pernah Dipilih, Tetapi Harus Dijalani

Sering kali kita merasa bahwa dharma agama dan dharma negara adalah dua hal yang harus dipilih: antara memperdalam spiritualitas atau terjun ke dunia politik. Seolah-olah kita harus memilih satu, entah menjadi umat yang khusyuk berdoa di pura atau menjadi aktivis yang menyuarakan perubahan di jalanan. Padahal, keduanya bukanlah pilihan, melainkan dua jalan yang harus dijalani bersamaan.

Dharma agama dan dharma negara bukanlah dua entitas yang terpisah. Seperti yang saya sampaikan pada Simposium Nasional lalu, Dharma Agama berarti membangun Hindu untuk Indonesia, Dharma Negara berarti membangun Indonesia untuk Hindu.

Keduanya memiliki peran yang saling melengkapi, dan keduanya harus kita perjuangkan dengan cara yang seimbang. Tidak ada alasan untuk terjebak dalam dikotomi yang membatasi ruang gerak kita sebagai umat Hindu yang juga merupakan warga negara yang bertanggung jawab.

Terlalu sering kita melihat kader-kader yang terlalu fokus pada satu sisi saja—seperti hanya memprioritaskan kegiatan ibadah dan ritual tanpa peduli dengan ketimpangan sosial di sekitar mereka, atau terlalu sibuk berteriak di jalan tanpa pemahaman yang cukup tentang konteks sosial dan politik yang lebih luas. Padahal, keberpihakan terhadap dharma negara harus tetap berakar pada dharma agama yang memberi kita pedoman moral dan spiritual dalam menghadapi dunia yang penuh tantangan ini.

Pada akhirnya, dharma agama dan dharma negara tidak bisa dipisahkan. Keduanya harus dijalani dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Tidak ada ruang untuk memilih hanya satu—kita harus bisa berjalan di kedua jalur tersebut dengan penuh kesadaran bahwa keduanya saling menguatkan, bukan saling bertentangan. Jika kita hanya fokus pada salah satu, kita kehilangan esensi dari dharma itu sendiri: sebuah panggilan untuk berbuat baik tidak hanya dalam hidup spiritual kita, tetapi juga dalam kehidupan sosial dan politik yang lebih besar.

Penulis : Lingga Dharmananda Siana (Fungsionaris PP KMHDI)

Share:

administrator