SEKRETARIAT PIMPINAN PUSAT KMHDI

Sekretariat Operasional (Surat Menyurat):
Jalan Kakatua Blok AA No. 14 Perumahan Cipinang Indah II, Kelurahan Pondok Bambu, Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur 13430
* Fax. : 021 – 86600779
Sekretariat Domisili :
Jalan Anggrek Nelly Murni Blok A No. 03, RT/RW 02/03 ,
Kelurahan Kemanggisan, Kecamatan Palmerah – Jakarta Barat 11480

Loading

Yogyakarta, kmhdi.org – Pernikahan dini merupakan pernikahan yang biasanya terjadi pada usia di bawah 18 tahun, yang secara hukum dan sosial belum dianggap matang dalam segi fisik, psikologis dan emosional, hal ini menjadi permasalahan dunia, salah satunya adalah Indonesia. Pada tahun 2024 sekitar 395 anak mengajukan Diska (dispensasi nikah) di Bojonegoro, dan baru-baru ini kasus pernikahan dini di Indonesia kembali terjadi di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Pasangan pengantin tersebut adalah SMY (14) dan SR (17) yang masih duduk di bangku SMP dan SMK, yang seharusnya menjadi masa untuk mereka belajar dan tumbuh secara optimal. Hal ini menunjukan bahwa sistem perlindungan anak di Indonesia masih perlu untuk di evaluasi terutama di daerah-daerah yang masih menjunjung tinggi tradisi menikah dini. Pernikahan dini tidak hanya menghilangkan hak-hak anak untuk mendapat pendidikan, menikmati masa kanak-kanak serta perlindungan dari eksploitasi, tetapi juga merampas masa depan mereka secara keseluruhan.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dan UNICEF pada tahun 2023, Indonesia menduduki peringkat ke- empat dalam kasus pernikahan dini. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada tahun 2024, sekitar 21,49% pemuda di Indonesia menikah di bawah usia 18 tahun. Angka ini terbilang tinggi, namun meskipun masih tinggi angka pernikahan dini di Indonesia mengalami penurunan. Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) melaporkan bahwa target penurunan perkawinan anak yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yakni 8,74% dengan capaian di tahun 2023 mencapai 6,92%. Pernikahan dini lebih banyak terjadi di daerah pedesaan pada masyarakat dengan pendidikan yang rendah, hal ini disebabkan oleh faktor kemiskinan, budaya, ataupun kurangnya pendidikan.

Pernikahan dini melahirkan berbagai permasalahan di masyarakat, untuk memahami besarnya permasalahan pernikahan dini, kita perlu menelusuri berbagai faktor yang melatarbelakanginya. Faktor-faktor yang menjadi penyebab pernikahan dini di Indonesia sangat beragam dan saling keterkaitan. Kemiskinan menjadi penyebab utama, dimana banyak keluarga yang memandang bahwa pernikahan sebagai cara mengurangi beban ekonomi keluarga. Selain itu nilai-nilai budaya juga menjadi faktor terjadinya pernikahan dini, karena masyarakat menganggap bahwa menikahkan anak-anak mereka di usia dini akan membuat mereka terhindar dari pergaulan bebas, pergaulan bebas yang dimaksud bukan hanya interaksi sosial antara remaja laki-laki dan perempuan tapi sudah mengarah pada hubungan yang melebihi batas norma dan agama hingga menyebabkan kehamilan yang tidak diinginkan. Justru banyaknya kasus pernikahan dini dikarenakan kurangnya pendidikan seksual yang komprehensif sehingga banyak anak-anak remaja yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Sistem Pendidikan yang tidak merata di berbagai daerah juga turut berkontribusi, dimana banyak remaja putus sekolah dan memilih untuk menikah karena tidak memiliki alternatif lain.

Membahas penyebab pernikahan dini saja tidak cukup jika kita mengabaikan dampak serius yang dialami para korban, terutama remaja perempuan. Dibalik faktor yang mendorong terjadinya pernikahan dini, masyarakat jarang melihat dan membahas dampak yang dialami. Dampak dari pernikahan dini sebenarnya jauh lebih kompleks baik dari segi psikologis, segi pendidikan, segi ekonomi serta kesehatan reproduksi. Pernikahan dini tidak hanya mengancam masa depan anak, tetapi juga berisiko menimbulkan dampak psikologis seperti trauma mental, depresi serta komplikasi kesehatan terutama pada saat kehamilan.

Dampak psikologis pernikahan dini sangatlah serius dan seringkali tidak disadari oleh keluarga maupun masyarkat. Remaja yang menikah diusia dini umumnya belum memiliki kematangan emosi yang cukup baik untuk mengahadapi permasalahan yang ada di dalam rumah tangga. Remaja yang belum siap memasuki kehidupan berumah tangga sering kali mengalami depresi, kecemasan, hingga stress pasca trauma (PTSD), tak jarang juga mereka lebih rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) baik secara fisik maupun verbal terutama pada pihak perempuan. Hal ini terjadi karena kematangan emosi serta regulasi emosi yang di miliki remaja belum cukup baik untuk menghadapi masalah yang terjadi dalam hubungan pernikahan. Mereka seringkali merasa terisolasi karena harus meningglkan lingkungan pertemanan dan pendidikan, sementara di saat yang bersamaan mereka dibebani dengan tanggung jawab dalam rumah tangga.

Selain gangguan psikologis, dampak fisik dari pernikahan dini juga menjadi permasalahan yang serius terutama terkait dengan kesehatan reproduksi. Organ reproduksi remaja perempuan yang belum sepenuhnya berkembang membuat mereka mengalami resiko tinggi disaat proses kehamil dan persalinan. Hal ini dapat menyebabkan komplikasi seperti kelahiran prematur, pendarahan pasca persalinan, berat badan lahir rendah, eklampsia, hingga kematian ibu dan anak. Selain itu, kurangnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dan keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan membuat remaja yang sudah menikah rentan terkena infeksi menular seksual dan kegagalan kehamilan yang tinggi karena mereka cenderung tidak menjalani pemeriksaan kehamilan secara rutin. Sebagian ibu muda yang menikah di usia remaja jarang bahkan tidak pernah mengikuti program Keluarga Berencana (KB) ataupun mendapatkan informasi terkait kesehatan seksual dan reproduksi.

Melihat begitu kompleksnya dampak yang ditimbulkan, penanganan pernikahan dini tidak bisa dilakukan secara parsial atau setengah hati. Upaya penanganan masalah pernikahan dini memerlukan pendekatan komprehensif dan kolaborasi dengan berbagai pihak. Pemerintah telah mengambil langkah penting dengan merevisi Undang-Undang Perkawinan No. 16 tahun 2019 yang menaikan batas usia minimal perkawinan Perempuan dari 16 tahun menjadi 19 tahun, menyamakan dengan batas usia minimal laki-laki. Namun perubahan Undang-Undang saja tidak cukup tanpa diiringi dengan implementasi yang kuat di setiap daerah. Pendidikan kesehatan reproduksi yang komprehensif harus menjadi bagian dari kurikulum sekolah, sementara program pemberdayaan ekonomi keluarga perlu dimaksimalkan untuk mengurangi faktor kemiskinan sebagai pemicu pernikahan dini. Peran tokoh agama dan masyarakat adat juga sangat krusial dalam mengubah paradigma dan norma sosial yang selama ini mendukung praktik pernikahan anak.

Selain dari pemerintah dan masyarakat, organisasi kepemudaan seperti Kesatuan Hindu Dharma Indonesia (KMHDI) juga memiliki peran penting untuk mendorong perubahan sosial. Melalui nilai nilai fundamental dalam purwaka KMHDI yaitu asas kebebasan, keadilan, dan solidaritas, KHDI dapat menjadi garda terdepan dalam menyuarakan hak-hak anak dan remaja untuk tumbuh dan berkembang secara optimal tanpa tekanan yang memaksa mereka menikah sebelum waktunya. Kebebasan yang menjadi dasar untuk menjamin pilihan hidup anak tanpa paksaan, keadilan menuntut hak atas pendidikan dan kesehatan serta solidaritas dalam melakukan pencegahan praktik pernikahan dini.

Pernikahan dini bukan hanya sekedar masalah individu atau keluarga, namun juga menjadi isu pembangunan kualitas sumber daya manusia Indonesia di masa depan. Setiap anak yang dipaksa menikah di usia dini tidak hanya kehilangan hak-hak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, tetapi juga berpotensi untuk meneruskan siklus kemiskinan dan ketidakberdayaan ke generasi berikutnya. Oleh karena itu, diperlukannya komitmen bersama dari seluruh elemen masyarakat, mulai dari lingkungan keluarga, lembaga pendidikan, tokoh agama, organisasi kepemudaan hingga pemerintahan untuk menciptakan lingkungan yang mendukung pemenuhan hak anak dan remaja. Dengan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan seperti kebebasan, keadilan, dan solidaritas kita dapat memastikan mereka memiliki akses terhadap pendidikan yang berkualitas, layanan kesehatan yang memadai, serta kesempatan untuk mengembangkan potensi diri mereka sebelum memutuskan untuk berkeluarga. Dengan melakukan pendekatan yang holistik dan berkelanjutan Indonesia dapat mengatasi masalah pernikahan dini dan segala dampak buruk yang di timbulkan.

.

REFERENSI

Sumber: https://mpr.go.id/berita/Pencegahan-Pernikahan-Usia-Dini-Harus-Konsisten-Ditingkatkan#:~:text=Data%20United%20Nations%20Children’s%20Fund,India%2C%20Bangladesh%2C%20dan%20Cina diakses pada 24 Mei 2025, pukul 20.55

Sumber: https://www.kemenpppa.go.id/page/view/NTE3MA==#:~:text=%E2%80%9CAngka%20perkawinan%20anak%20terus%20menurun,92%20persen%20pada%20tahun%202023 diakses pada 24 Mei 2025, pukul 20.59

.

Nama Penulis: Putu Pradnya Awidya Mita (PC kmhdi Yogyakarta)

Share:

administrator